Sebuah bayangan melesat dengan cepat dari luar jendela. Gerakannya yang gesit, tanpa suara, cukup membuktikan bahwa pemuda itu sudah terlatih.
Kamar itu hening, hanya terdengar detak jam dinding dan dengkuran halus dari sang empunya kamar.
Pemuda itu tersenyum melihat Theo yang tertidur pulas di ranjangnya. Dia menyusupkan kedua tangannya di balik saku hoodie berwarna kelabu miliknya. Udara di pagi buta itu cukup membuatnya kedinginan.
Pemuda itu duduk di kursi kayu di pojok ruangan, memandang kamar Theo. Ada rasa rindu tersendiri yang terselip di hatinya. Banyak kenangan yang terjadi di kamar itu.
Dia berdiri, memantapkan hatinya. Dengan mengenang masa lalu merupakan hal sia-sia, hal terbodoh yang sering dilakukannya, sama sekali tidak berguna. Dia menampar dirinya secara mental. Ingin sekali ia berteriak dengan lantang kepada dirinya, bahwa meratapi masa lalu tidak akan mengubah masa depannya. Tidak akan.
Sang surya perlahan menunjukkan wajahnya. Sinarnya yang hangat menerangi dedaunan, membentuk bingkai yang elok sebagai bayangannya.
Pemuda itu berpikir cepat, dia harus segera pulang, kalau tidak maka semuanya akan kacau. Theo akan mengetahui segalanya sebelum waktunya, dan itu berita buruk.
Theo menggeliat, menggumamkan kata-kata yang tidak jelas tertangkap oleh indra pendengar. Pemuda itu khawatir, berjalan mengendap-endap menuju jendela. Karena kecerobohannya, ia tak sengaja menyenggol pigura yang terletak di atas nakas.
Theo bergumam, baru tersadar, dia bangun dengan cepat. “Hei berhenti kau! Siapa kau? Pencuri?”
Theo dengan cepat melompat dari ranjangnya. Pemuda itu sama sekali tidak menoleh ke belakang. Dia merogoh sakunya, mengambil selembar masker berwarna gelap, lantas mengenakannya sebelum Theo melihat wajahnya.
Pemuda itu hendak melompat melewati jendela. Tapi Theo dengan cepat mencengkram tudung jaketnya. Theo merogoh sakunya, mengambil sebuah benda tipis dengan banyak tombol. Theo menekan salah satu tombol berwarna hijau, membuat kamar yang semula gelap itu menjadi terang benderang.
Theo melempar benda tipis itu di ranjangnya. Menoleh pada pemuda yang menyusup ke kamarnya. Pemuda itu sama sekali tidak memberontak, jangankan memberontak, melirik Theo pun tidak, pemuda itu lebih memilih memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Hei! Aku bertanya sekali lagi, siapa kau?” Theo memutar kepala pemuda itu demi melihat wajahnya.
Theo melototkan matanya, bibirnya terasa terkunci, tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Hei, bagaimana mungkin? Theo merasa sangat familier dengan wajah itu.
“Bagaimana mungkin? Kau ...,” ucapan Theo terpotong, pemuda itu membekap mulut Theo.
Theo memberontak, menatap sinis mata itu, mata yang menyorotkan tatapan tajam, mata yang sangat dikenalnya. Dia mengambil kasar masker yang menutupi wajah pemuda itu. Bagaimana mungkin?
Pemuda itu dengan cepat melepaskan cengkeraman Theo, memutar tangan Theo. Secepat kilat dia meninju Theo tepat di ulu hatinya, bahkan Theo baru tersadar. Theo terpelanting ke belakang, berdebum di lantai dengan keras.
Belum sempat Theo berdiri, pemuda itu dengan gesit menerjang Theo, dia meninju rahang Theo, membuat anak itu memuntahkan darah, Theo mengerang kesakitan, mencoba melawan, tapi dia sadar, pemuda itu bukan tandingannya. Pemuda itu melayangkan pukulan terakhir yang cukup membuat Theo tidak sadarkan diri. Oh, inikah sambutan yang baik di pagi yang cerah, di pagi yang penting baginya, di saat dirinya akan mengikuti perlombaan renang untuk menyenangkan Rain-nya.