Bukan Theo namanya kalau dia tidak bisa menyakinkan Raini. Entah sudah berapa kalimat yang Theo lontarkan untuk membela dirinya. Entah sudah berapa lama dia berdebat ini itu dengan Raini. Theo tetap bersikukuh untuk mengikuti lomba itu, bukankah Raini sendiri yang menginginkan Theo untuk mengikuti lomba itu beberapa hari silam? Lalu mengapa dia sendiri yang meminta Theo agar tidak mengikuti lomba itu?
Karena Theo sakit, itulah jawaban Raini saat Theo menayakan alasannya. Alasan yang klise sekali, bukan? Entahlah, Theo sendiri tidak mengerti jalan pikiran perempuan, mereka terkadang aneh.
Theo menghela napas. Jam dinding menunjukkan angka dua, itu berarti sejam lagi lomba akan dimulai. Tapi lihatlah dia sekarang, masih duduk manis di ranjangnya, menatap lamat-lamat ransel yang berada di sebelahnya. Di sanalah semua keperluan lombanya ia masukkan.
Theo menghela napas untuk ke sekian kalinya. Dia kini beringsut menatap Shine yang duduk di depannya. Hari ini Shine semakin aneh, entah apa yang terjadi padanya, setiap Theo memanggilnya, dia tidak pernah datang atau sekadar menyahut panggilan Theo. Saat Theo menanyainya sesuatu, Shine akan meracau tidak jelas. Dia benar-benar sakit.
“Shine, ada apa denganmu akhir-akhir ini?” tanya Theo.
Seperti keberadaan Theo hanya ilusi bagi Shine. Dia hanya memandang ke luar jendela kamar dengan ekspesi yang sedih tidak kepalang tanggung, seperti akan ada sesuatu yang berharga miliknya akan hilang, entah apa itu, Theo tidak tahu.
Theo berdiri, mendekati Shine. “Mungkin beberapa sistemmu ada yang rusak, Shine. ” Theo menyimpulkan. “Mungkin beberapa susunan microphonenya rusak, atau sensor ruangnya rusak,” gumam Theo kemudian.
Seperti percakapannya beberapa jam lalu, Shine sama sekali tidak menjawab, sekadar menoleh pun tidak. Kini Theo merasa jengkel, dirinya seperti bicara dengan tembok, datar, tidak berekspesi, tidak menyahut.
“Aku akan membawamu ke Ayah, agar beberapa sistemmu bisa diperbaiki .... Tapi kau harus istirahat dulu. Maaf jika menyakitimu, Shine. Dan terima kasih telah menjagaku selama ini, Shine.” Theo menekan bagian bawah telinga kanan Shine, membuat robot itu tidak bergerak. Itulah tombol rahasia untuk mengaktifkan Shine.
Theo mengambil benda tipis di atas nakas, mengaktifkan benda itu, mengotak-atiknya sebentar. Theo menempelkan benda tipis itu di dekat telinganya, bunyi pangilan terdengar. Selang beberapa detik terdengar suara sahutan dari sebrang sana.
“Theo? Kau kah itu? Ada apa, Nak?” Terdengar suara ayah Theo dari sebrang sana.
“Iya, ini aku Ayah.” Theo tersenyum, dia merindukan suara yang menyapanya dengan hangat itu.
“Apa kau baik-baik saja di sana, Nak? Maafkan Ayah yang tidak bisa menjagamu, di sini Ayah masih sibuk, Nak. Ayah berjanji jika ada waktu Ayah akan mengunjungimu.” Suara ayah Theo terdengar sendu.
“Aku baik-baik saja, Yah.” Theo terdiam sejenak. “Aku akan mengatakan langsung tujuanku menelepon Ayah. Shine, Yah, sepertinya dia rusak, bisakah Ayah meluangkan waktu Ayah untuk memperbaiki Shine?” tanya Theo.
Ayah Theo terdiam sejenak. “Baiklah, Theo. Kau bisa mengirim Shine ke sini, tentu kau tahu cara mengirim Shine, bukan?” Theo mengangguk, walau ia tahu ayahnya tidak bisa melihatnya.
“Ayah nantinya juga akan menambahkan beberapa fitur canggih yang baru. Ayah harap kau tidak kesepian selama Ayah memperbaiki, Shine.” Ayah Theo melanjutkan.
“Baiklah, Ayah. Kalau begitu kututup dulu, aku akan pergi untuk mengikuti lomba.” Theo memutuskan untuk menyudahi percakapan itu.
Setelah ayah Theo mengutarakan beberapa kalimat, menasehati Theo ini itu, barulah dia mengakhiri pembicaraan itu.
Theo akan sendiri selama beberapa hari ke depan, tidak apa-apa, dia sudah terbiasa. Sendiri itu menyenangkan, tidak ada yang bisa mengekangnya.
***