17 Agustus 2018. Desa Tinap terlihat meriah. Di sepanjang jalan utama, bendera merah putih berkibar di setiap sudut, diiringi suara-suara anak kecil yang berlarian mengejar balon dan permainan tradisional. Tapi titik pusat keramaian sore itu ada di lapangan bola desa. Debu beterbangan, suara toa menggema, dan sorakan warga seperti ombak yang tak henti-henti memecah keheningan desa..
Danu berdiri tegak di tengah lapangan, mengenakan kaos polos putih dan celana hitam lusuh. Di lehernya tergantung peluit wasit, matanya tajam memantau pergerakan para pemain. Danu memang bukan warga asli Tinap. Ia berasal dari Kecamatan Ngariboyo dan pindah ke Tinap setelah menikahi Yanti, gadis lokal yang kini menjadi istrinya. Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di sebelah rumah nenek Yanti. Meskipun statusnya sebagai pendatang, kehadirannya pelan-pelan mulai dikenal warga karena sikapnya yang ramah dan aktif dalam kegiatan desa. Tahun ini, panitia memutuskan Danu sebagai juri pertandingan final bola antar kampung—Sugihwaras lawan Tinap. Keputusan itu bukan tanpa risiko.
Menunjuk seorang pendatang sebagai juri di pertandingan yang sarat gengsi seperti ini berarti menempatkan Danu di garis depan tekanan sosial yang berat. Warga Tinap, sebagai tuan rumah, menaruh harapan besar untuk memenangkan pertandingan, apalagi dengan lawan bebuyutan seperti Sugihwaras. Danu sadar bahwa di mata sebagian orang, keberpihakannya pasti akan dipertanyakan, sekecil apa pun keputusannya. Ia paham betul bahwa keberaniannya untuk bersikap adil bisa dengan mudah dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kampung sendiri, meskipun secara hukum ia belum sepenuhnya diterima sebagai 'orang Tinap'. Sebuah keputusan kontroversial saja cukup untuk membalikkan simpati menjadi kebencian. Dan hari itu, di bawah terik matahari dan sorakan ribuan pasang mata, Danu tahu bahwa dirinya tidak hanya menghakimi jalannya pertandingan, tetapi juga mempertaruhkan reputasi, kehormatan, bahkan keselamatannya sendiri.
Di satu sisi lapangan, tim Tinap berkumpul. Kaptennya, Soni, berdiri paling depan, dengan sorot mata penuh percaya diri. Di belakangnya ada Ardra, pelatih tim yang dikenal luas karena jabatannya yang strategis sebagai PNS di Kabupaten Magetan. Bandi, adik Ardra yang kini menjadi PNS di Madiun, berdiri dengan kepala tegak penuh semangat. Hari itu ia ikut bermain sebagai gelandang bertahan, bertugas menjaga tempo permainan sekaligus melindungi lini belakang tim Tinap dari serangan Sugihwaras. Sementara di sisi seberang, tim Sugihwaras tampak kalem tapi fokus. Mereka sudah beberapa kali masuk final, dan tahun ini mereka datang dengan kekuatan penuh.
Kick-off dimulai. Bola bergerak cepat dari kaki ke kaki, sorakan warga bergema di udara. Setiap operan, setiap tekel, setiap peluang menciptakan ketegangan tersendiri. Danu berdiri di garis tengah, matanya tak lepas dari bola. Beberapa pelanggaran kecil terjadi, tapi pertandingan tetap berlangsung sportif—hingga menit ke-68.
Sebuah umpan silang dari tim Sugihwaras mengarah ke kotak penalti Tinap. Seorang bek Tinap, secara refleks, mengangkat tangannya. Bola mengenai siku. Danu langsung tiup peluit keras.
"PE-NAL-TI!!"
Lapangan hening sejenak. Lalu meledak.
"WOIIII APA-APAAN ITU?!" Soni berteriak sambil berlari ke arah Danu.
"Itu pelanggaran. Tangan kena bola. Jelas sekali," ucap Danu tegas, tetap berdiri kokoh di tengah kerumunan.
"Apa kau buta?! Itu refleks, bukan sengaja! Jangan bawa-bawa aturan kota ke sini, ini kampung!" Soni mendekat lebih agresif.
Danu menahan nafas. "Aturannya tetap aturan. Mau di kota, mau di kampung."
Soni menunjuk-nunjuk dada Danu. "Kau pikir kau siapa? Baru ngontrak sudah sok mengatur lapangan orang?"
Ardra mulai maju dari pinggir lapangan. Wajahnya masam, matanya gelap. Penonton mulai bersorak tak karuan. Suara ibu-ibu meneriaki Danu dari pinggir lapangan, anak-anak berhenti main dan mulai menonton penuh antusias.
Tendangan penalti akhirnya dilakukan. GOL. Sugihwaras memimpin 7-4.
Tim Tinap kehilangan ritme. Gol tambahan pun terjadi. Skor akhir 8-4. Danu meniup peluit panjang tanda akhir pertandingan.
Penonton Tinap diam, kecewa. Tapi Soni tidak. Ia mendekat ke Danu dengan langkah cepat.
"Gara-gara kamu, kita kalah. Kamu pengkhianat kampung."
Danu menghela napas. "Aku hanya menjalankan tugasku."
Soni menghantamkan tinjunya ke wajah Danu. Pukulan keras membuat Danu terhuyung. Penonton histeris.
"SONI! WOI, STOP!" teriak Ardra, tapi suaranya tenggelam.
Pukulan kedua melayang, tapi Danu sempat menahan. Mereka bergulat. Danu menangkis, lalu melayangkan satu pukulan balik ke perut Soni. Soni terjatuh. Semua mata menatap.
"Cukup!" kata Bandi, maju dengan cepat. Tapi niatnya bukan memisah—ia langsung menyeruduk Danu dari samping. Danu kembali oleng, tapi insting bela dirinya lebih cepat. Ia memutar badan dan menghantam hidung Bandi dengan siku.
Darah langsung mengucur dari hidung Bandi. Ia jatuh terduduk, memegangi wajahnya.
"Kau!" Ardra kini maju, memisahkan Danu dengan tubuhnya. "Kurang ajar kamu, sudah berani hina adikku, sekarang main tangan juga?!"
Danu menyeka peluh di dahinya. "Aku tidak menghina siapa-siapa. Tapi kalian—PNS, orang berpendidikan—tingkahnya seperti preman pencak silat. Mau menang saja, tidak bisa terima kekalahan."
Ardra mendekat, menantang. "Kamu menghina perguruan kami?! Kau kira kami ini apa?!"
"Saya tidak takut pada embel-embel silat. Kalau memang jago, kenapa tidak bisa ajari adikmu sportif?"
Dorongan keras dari Ardra membuat Danu mundur dua langkah. Tapi sebelum sempat dibalas, dua polisi yang datang langsung melerai.
"WOI! WOI! Semuanya diam! Bubar! Ini lapangan, bukan kandang sapi!" bentak seorang polisi.
Danu ditarik ke arah pinggir lapangan. Ardra dan Bandi digiring menjauh. Pertandingan selesai. Tapi dendam baru saja dimulai.
***
Malam harinya, langit Tinap dihiasi kembang api yang meledak dengan warna-warni, tapi suasana di balaidesa jauh dari semarak. Balai itu dipenuhi orang-orang berseragam perguruan silat dengan lambang garuda bertaring di dada kirinya. Suasana tasyakuran kemerdekaan yang biasanya khidmat berubah jadi ruang bisik-bisik dan amarah terpendam.
Hajit duduk di sudut balai, mengenakan jaket hitam bertuliskan nama perguruan di punggungnya. Matanya menyipit memperhatikan Ardra dan Bandi yang tengah bicara dengan sesepuh perguruan. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
"Kau lihat sendiri, kan? Danu itu bukan orang kita," bisik Hajit pada teman di sebelahnya. "Dia bukan orang Tinap. Dia cuma numpang tinggal di rumah nenek istrinya. Pendatang dari Ngariboyo, bukan darah sini."
"Tapi dia resmi jadi warga sini setelah menikah dengan Yanti, kan?" sahut seorang anggota muda.
"Resmi secara surat, mungkin. Tapi hatinya? Lihat saja tadi siang, dia lebih bela Sugihwaras ketimbang kampung ini," ujar Hajit, suaranya meninggi.
Beberapa kepala mulai mengangguk. Ardra yang sejak tadi berdiri di dekat tiang tengah balai memutar tubuhnya, matanya menajam.
"Sudah cukup alasan. Aku sendiri yang dengar dia hina adikku," ucap Ardra perlahan, namun penuh tekanan. "Kita beri dia pelajaran."
"Besok pagi, kita giring dia ke balai. Biar warga tahu siapa dia sebenarnya," timpal Hajit dengan penuh semangat.
Rencana itu akhirnya mengkristal di tengah malam yang penuh hasutan. Sorot mata satu per satu anggota perguruan menyala—bukan karena semangat membela kehormatan desa, melainkan oleh bara dendam yang terus ditiup oleh ego dan harga diri yang koyak. Mereka tak lagi membedakan antara keadilan dan emosi, antara pembelaan dan pelampiasan.
Keesokan paginya, 18 Agustus 2018. Matahari baru saja menyembul di balik perbukitan kecil di sisi timur desa. Embun masih menggantung di rerumputan, namun suasana di halaman kontrakan Danu jauh dari sejuk. Puluhan warga telah berdatangan. Para lelaki mengenakan ikat kepala khas perguruan mereka, berdiri dalam barisan seperti hendak menggelar perang. Perempuan-perempuan desa turut hadir, sebagian membawa anak-anak mereka, sebagian hanya berdiri dengan wajah tegang, mata penuh bara. Anak-anak kecil berdiri memegangi pagar bambu, tak paham apa yang sedang terjadi, tapi ikut larut dalam suasana genting yang menyeruak.
Di belakang rumah, Danu tengah menaburkan dedak di kandang ayam. Tangannya cekatan, kepalanya sedikit tertunduk, tenggelam dalam rutinitas pagi yang sederhana. Tapi ketenangan itu pecah ketika suara-suara keras mulai menggema dari depan rumah.
"Keluar! Mana Danu?! Keluar kau!"
"Keluar! Mana Danu?! Keluar kau!"
Ia meletakkan gayung bekas makan ayam, mengelap tangannya di celana, lalu berjalan ke arah depan. Tubuhnya tegak. Sorot matanya tajam meski wajahnya penuh tanya.
Seorang lelaki berbadan besar, mengenakan kaos hitam bertuliskan nama perguruan, menuding ke arah Danu. "Kau ikut kami ke balaidesa. Sekarang."
"Ada apa?"
"Jangan pura-pura tak tahu. Kau sudah bikin malu kampung ini. Jangan bikin kami naik darah."
Beberapa orang langsung menggandeng tangan Danu. Ia tak melawan. Hanya memandang sekeliling. Anak-anak menatap dengan rasa bingung dan takut. Ibu-ibu berbisik sambil menggeleng.
Di tengah kesibukannya mengajar di SD Tinap, Yanti dikejutkan oleh kabar yang dibawa seorang tetangga. Wajah perempuan itu cemas saat menyampaikan bahwa rumah kontrakannya didatangi banyak orang, dan Danu telah dibawa paksa ke balaidesa. Mendengar itu, Yanti segera meminta izin kepada kepala sekolah untuk pulang lebih awal.