PENJELAJAH WAKTU (Mencuri Masa Merebut Takdir)

Charisma Wahyu Aditya
Chapter #2

Chapter 2 : Ditepi Jurang Kematian

"Kalau kalian mati sebelum aku memberi maaf, aku bersumpah... jasad kalian tidak akan diterima bumi dengan layak. Kubur kalian akan menolak. Tanah akan pecah. Dan kalian akan membusuk di atas permukaan tanpa satu pun yang sudi menyentuh." 

Malam turun perlahan di tepi jurang Sungai Gandong, membawa serta dingin yang merayap diam-diam ke tulang. Udara Agustus kering dan rapuh, seperti kulit tua yang mudah pecah. Dari ketinggian sekitar dua puluh meter, aliran sungai tampak seperti pita hitam yang terjerat di antara batu-batu purba. Permukaannya memantulkan cahaya bulan sabit yang remang, seakan langit sendiri sedang malas memberi terang. Di sisi jurang, rerumputan liar tumbuh tak teratur, sebagian mengering dan berserakan oleh terpaan angin malam yang malas berhembus.

Kabut tipis menyelimuti tanah dan semak rendah. Suara jangkrik memecah keheningan malam, beradu dengan nyanyian belalang yang menyambung dari ujung ke ujung, menciptakan orkestra hening yang menyesakkan dada. Pohon-pohon randu dan trembesi berdiri seperti penjaga sunyi di tepi jurang, siluetnya bergoyang samar diterpa gemetar dedaunan.

Danu duduk bersandar pada batang pohon, tubuhnya dipenuhi luka lebam. Kausnya robek di beberapa bagian, bercampur darah kering yang menempel di kulit. Nafasnya berat dan tak teratur. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan denyut nyeri yang terasa dari tulang punggung hingga pelipis. Tapi rasa sakit itu bukan yang paling menyiksa malam ini.

Ia membuka mata perlahan, menatap langsung ke arah jurang. Pandangannya kosong. Hening. Seolah hanya detak jantungnya yang tersisa di semesta itu.

"Tempat yang cocok untuk mati," bisiknya pelan.

Tangannya menggenggam sebongkah batu kecil, lalu dilemparkannya ke bawah. Tidak ada suara percikan, hanya gema yang tertelan lembah. Danu tertawa hambar.

"Ardra... Bandi... Hajit..." katanya menyebut satu per satu nama itu seakan melafalkan mantra laknat.

"Kalian pikir kalian menang? Pikir kalian berhasil menjatuhkanku?" suaranya mulai meninggi, menggema di antara gemerisik malam. "Kalian sudah curi semuanya dariku—rumah, istri, anak, harga diriku. Tapi dengar baik-baik... selama aku masih bernapas, kalian belum selesai dengan aku."

Ia terdiam sejenak, menarik napas panjang yang serasa membakar paru-parunya.

"Kau, Ardra... dengan jasmu yang sok rapi dan gelar PNS-mu yang kau banggakan itu. Kau pikir kau siapa, hah?! Tuhan kampung? Kau dan adikmu itu... cuma pengecut. Bertameng jabatan dan harta, padahal isinya hanya ambisi dan dengki."

Ia menunduk, memegangi lututnya yang bengkak. Sakit itu semakin menjadi, tapi Danu tak peduli. Ia justru menatap ke arah langit.

"Dan kau, Hajit... cinta ditolak, kau jadikan fitnah. Kau tanam racun di antara orang-orang yang dulu kusebut tetangga. Kau biarkan anak dan istriku hampir diinjak-injak oleh amarah orang-orang buta."

Matanya memerah, bukan karena tangis, tapi karena amarah yang tak bisa ditumpahkan pada siapa pun. Ia menggertakkan gigi, lalu bersandar kembali ke batang pohon.

"Kalau kalian mati sebelum aku memberi maaf, aku bersumpah... jasad kalian tidak akan diterima bumi dengan layak. Kubur kalian akan menolak. Tanah akan pecah. Dan kalian akan membusuk di atas permukaan tanpa satu pun yang sudi menyentuh."

Suara jangkrik makin kencang, seolah menyahut doa murka Danu. Angin malam mulai membawa aroma tanah lembab dari bawah jurang. Kabut semakin tebal, membuat garis antara darat dan langit nyaris tak terlihat.

Ia mencoba berdiri. Kakinya gemetar. Dunia di sekitarnya bergoyang perlahan, seperti bumi enggan menopangnya. Ia berpegangan pada batang pohon itu lagi, menatap jurang satu kali terakhir.

"Tapi kalau aku jatuh sekarang... semua dendam ini akan jadi kosong," gumamnya. "Dan itu... terlalu mudah buat kalian."

Sambil menyeret langkah, ia menjauh dari bibir jurang. Satu per satu suara malam kembali masuk ke telinganya: gesekan rumput, desir angin, dan jerit belalang yang tak kenal henti. Tapi di antara semua suara itu, hanya satu yang benar-benar menggema dalam benaknya—suara dirinya sendiri, yang belum selesai.

Langkah-langkahnya pelan, tapi pasti. Meski tubuhnya memar, dan hatinya koyak, ia belum selesai. Belum sekarang.

Dan malam pun terus berjalan, di bawah langit yang menggantungkan bulan sabit seperti bisikan samar dari takdir yang belum berpihak.

***

Suara sirene meraung pelan di kejauhan, mendekat dengan denyut ketegangan yang makin jelas. Malam yang dingin di Ngariboyo berubah riuh ketika mobil patroli berwarna coklat abu-abu milik Sabhara Polsek Ngariboyo berhenti mendadak di depan rumah Bu Partini. Dua orang petugas intel turun cepat dari kendaraan, mengenakan jaket gelap dan membawa senjata pendek yang terselip di pinggang.

Tiga dari lima pria bertubuh kekar yang sempat menyerang Danu sebelumnya masih berada di halaman rumah. Mereka tak menduga aparat datang secepat itu. Salah satu dari mereka sempat mengangkat botol bekas untuk melawan, tapi dalam satu gerakan terlatih, petugas pertama menodongkan senjata ke dadanya.

Lihat selengkapnya