Dari balik kabut yang memutih, sesuatu mulai bergerak. Perlahan, seperti sebuah bayangan yang dilukis oleh tangan tak kasatmata, sesuatu yang agung mendekat. Suasana berubah drastis, sebuah perpaduan aneh antara kemegahan surga dan kehampaan neraka. Kehangatan dan kengerian bercampur menjadi satu, membuat udara di sekitar Danu bergetar pelan.
Baik dan jahat, dua kutub yang saling bertolak belakang, terasa hadir bersama-sama di tempat itu. Setiap helaan napas membawa aroma manis sekaligus getir. Setiap detak jantung membuat dunia di sekeliling Danu seolah berdenyut antara kehidupan dan kehancuran.
Kabut itu perlahan terbelah. Dari arah barat laut, di antara kabut yang semakin padat dan bercahaya, muncullah sesosok pria paruh baya. Usianya tampak hanya terpaut beberapa tahun dari Danu, mungkin sekitar empat puluhan. Kepalanya botak mengkilap diterpa pantulan bulan purnama—bulan yang entah sejak kapan berubah dari sabit menjadi bulat penuh, menggantung dengan sinar keperakan di langit.
Kulit pria itu putih bersih nyaris seputih porselen, mengingatkan pada gambaran bangsa Arya dalam kitab-kitab sejarah kuno. Ia mengenakan tuxedo hitam elegan, potongannya sempurna, membalut tubuhnya dengan garis tegas dan anggun. Dasi kupu-kupu hitam terselip rapi di kerah kemeja putih mengilap, sementara sepatu kulit hitam mengkilap menapak tanah.
Namun sesuatu yang lebih aneh terjadi di setiap langkahnya. Setiap kali kakinya menyentuh tanah, bumi bergetar ringan, seperti denyut nadi raksasa yang baru terbangun. Dan di setiap bekas telapak kakinya, tercipta serpihan kaca kecil—kristal bening yang memancarkan cahaya dari dalam dirinya sendiri, membentuk jejak berkilau yang perlahan-lahan memanjang mendekati tempat Danu duduk membatu.
Sinar lembut dari serpihan itu membuat rerumputan di sekitar berkilau tipis, seperti permadani zamrud yang dihiasi berlian. Bayangan pepohonan melengkung aneh di balik kabut, seolah ikut menundukkan diri pada kehadiran sosok misterius itu.
Danu memandang tanpa berkedip, seolah seluruh tubuhnya membatu. Napasnya tertahan, mulutnya terbuka setengah, namun tak satu pun suara berhasil keluar. Bukan semata karena ketakutan, melainkan karena kekaguman dan rasa ngeri yang bercampur menjadi satu, membebat dadanya hingga ia tak mampu bergerak.
Pria itu berjalan tenang, sikapnya anggun bagaikan bangsawan Italia yang melangkah di atas karpet merah. Tapi ada sesuatu yang lain dalam langkah-langkahnya—sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh akal sehat: kekuatan, otoritas, kemutlakan. Seakan-akan setiap hembusan nafasnya bisa menciptakan dunia baru atau menghancurkan yang lama.
Bulan di atas kepala Danu bersinar lebih terang, seakan mengarahkan seluruh cahayanya hanya kepada sosok itu. Langit di sekeliling remang, tanpa bintang, hanya tersisa purnama yang seolah menjadi saksi bisu kedatangan sesuatu yang melampaui batas dunia manusia.
Dari jarak sekitar lima belas langkah, pria itu berhenti. Ia menatap Danu langsung, dan tersenyum. Senyumannya aneh—bukan senyum penuh keramahan, tapi juga bukan senyum ancaman. Sebuah senyum yang membawa makna dalam, seolah ia tahu seluruh kisah hidup Danu, dari awal hingga akhir.
Kabut semakin padat di sekeliling mereka, menciptakan ruang terpisah dari dunia luar. Tidak ada lagi suara jangkrik, tidak ada lagi desir angin. Hanya ada Danu, sosok misterius itu, dan dunia yang seakan membeku di antara batas nyata dan gaib.
Danu tetap membisu, membiarkan dirinya terjebak dalam momen itu, sadar sepenuhnya bahwa hidupnya akan berubah selamanya setelah malam ini.
***
Pria itu melangkah satu kali lagi, mendekat hingga hanya berjarak dua meter dari Danu. Lalu ia berbicara, dengan suara berat namun tenang, seolah setiap katanya telah dipilih dan dipoles sebelum diucapkan.
"Namaku Ehad, " ucapnya. "Di Prancis mereka memanggilku Sir. Ehad. Aku menyukai gelar itu, dan memilih untuk tidak menggantinya dengan gelar kehormatan apa pun."
Danu menelan ludah. Suara itu seperti gema dari ruangan kosong yang jauh, tapi anehnya, ia mendengarnya sangat jelas.
Sir. Ehad menunduk sedikit, menatap Danu seolah sedang membaca isi pikirannya.
"Apa arti mati bagimu, Danu?" tanyanya. "Apakah kehancuran total? Ataukah... pembebasan?"
Danu tak menjawab.
Sir. Ehad melanjutkan, kali ini dengan langkah mengitari Danu.
"Kau berdiri di batas dua dunia, dan tetap memilih diam. Sementara itu, mereka yang menginjakmu, mengubur namamu, masih hidup nyaman tanpa beban. Kau sudah mencoba melompat, bukan? Tapi Tuhanmu tak menjawab."
Ia berhenti tepat di belakang Danu, lalu berbicara pelan, nyaris berbisik, "Karena itu aku datang."
Danu menoleh perlahan, sorot matanya masih dipenuhi campuran curiga dan bingung.
"Aku menawarkanmu sesuatu," ujar Sir. Ehad, sekarang berdiri lagi di hadapan Danu. "Sebuah bisnis yang... menguntungkan."
Suasana di sekitar mereka tetap membeku. Kabut tidak bergeming, udara tidak bergerak. Hanya suara Ehad yang mengisi kehampaan.
"Bisnis?" tanya Danu lirih.
"Ya," jawab Ehad sambil tersenyum samar. "Jasa tukar tambah takdir... dan jual beli waktu."
Ia mengangkat satu jari ke udara. Seketika, sekeliling mereka berpendar merah kebiruan. Bayangan siluet-siluet manusia muncul di balik kabut—seperti proyeksi kehidupan yang diputar ulang.
"Kau bisa memilih kembali ke waktu tertentu. Mencabut kesalahan. Mengulang keputusan. Bahkan membalikkan seluruh tragedi... seakan tak pernah terjadi. Tapi itu bukan hadiah. Itu bisnis. Waktu adalah komoditas, dan takdir adalah mata uang."
Danu terperangah. Suara Ehad kini terdengar dalam dua lapis—satu di telinga, satu lagi entah di mana, menggema di dalam kepala.
"Tapi ingat," lanjut Ehad. "Takdir yang kau tukar, akan diambil dari seseorang. Dan waktu yang kau beli... akan ditebus dengan harga yang tidak semua orang sanggup bayar."