Penulis vs Karakter

Risti Windri Pabendan
Chapter #1

Chapter 1 Saat Karakter Keluar dari Laptop

Di sebuah kamar sederhana di Toraja, tepatnya di lantai dua rumah kayu dengan jendela menghadap hamparan sawah hijau, duduklah seorang penulis bernama Windri Pabendan.

Windri bukan sembarang penulis. Ia adalah jenis penulis yang bisa duduk berjam-jam di depan laptop hanya ditemani kopi dingin sisa semalam dan setumpuk cemilan tak sehat. Kalau kamu lihat kamarnya, kau pasti akan bingung: ini kamar, warung kopi, atau gudang kertas?

Di meja kerjanya ada laptop yang penuh stiker random: ada gambar ayam Toraja, tokoh anime, sampai tulisan besar “DEADLINE IS COMING.” Ironis, karena Windri termasuk orang yang paling sering kabur dari deadline.

Sore itu, angin bertiup lembut membawa aroma tanah basah setelah hujan. Tapi Windri sama sekali tidak menikmati pemandangan luar. Matanya terpaku pada layar laptop yang sedang menampilkan naskah terbarunya.

Jari-jarinya menari di atas keyboard. Wajahnya penuh ekspresi licik, seperti penjahat sinetron yang baru saja menemukan ide jahat.

“Akhirnya… tokoh utama mati dengan tragis.”

Klik! Klik! Klik!

Windri mengetik kalimat itu dengan penuh semangat. Bibirnya melengkung dalam senyum kemenangan.

“Hehehe… pembaca pasti nangis tujuh turunan,” gumamnya puas.

Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, menghela napas panjang. Ada kepuasan tersendiri saat berhasil membuat karakter menderita. Entah kenapa, itu seperti memberi bumbu dramatis pada cerita.

Namun di balik kepuasannya, ada hal kecil yang ia lupakan: karakternya, meski hanya fiksi, sudah terlalu sering ia buat menderita.

Dan rupanya… hari ini, kesabaran mereka habis.

Laptop Windri tiba-tiba bergetar.

Awalnya hanya sebentar. Windri mendengus, mengira listriknya bermasalah. “Duh PLN lagi…”

Tapi kemudian layar mulai berkilauan, seperti ada portal bercahaya biru muncul dari dalamnya.

Windri refleks menjauh. “Eh? Apa-apaan ini? Jangan bilang laptop-ku kebakar lagi?! Astaga, baru kemarin aku service di Makale!”

BRUAAAK!

Sebuah kilatan cahaya keluar dari layar, diikuti hempasan angin yang membuat kertas-kertas naskah beterbangan ke seluruh kamar. Kopi basi di meja tumpah, mengenai catatan ide brilian yang kini berubah jadi bubur kopi.

Dari dalam laptop, seseorang meloncat keluar dengan dramatis.

Angin bertiup kencang. Suara petir menggelegar. Musik epik (entah dari mana datangnya) terdengar, seakan ada orkestra yang mengiringi kemunculannya.

Seorang pemuda gagah dengan rambut hitam panjang, jubah lusuh, dan pedang besar di punggung berdiri di hadapan Windri. Matanya tajam, wajahnya penuh amarah.

Windri terbelalak. Mulutnya terbuka lebar. “Arkana…?!”

Ya, benar. Itu adalah Arkana, tokoh utama novel yang baru saja ia tulis mati dengan tragis.

“HEI, PENULIS!” bentak Arkana dengan suara menggelegar. “APA-APAN INI?! KENAPA AKU HARUS MATI?!”

Windri kaget setengah mati sampai hampir jatuh dari kursinya. Ia menunjuk Arkana dengan jari gemetar.

“G–GILA! Ini nggak masuk akal! Kamu kan cuma karakter novel! Kok bisa nongol di dunia nyata?!”

Arkana melangkah maju dengan dramatis. Setiap langkahnya terdengar bak adegan film superhero. “Aku sudah berjuang keras, berdarah-darah, jadi pahlawan yang kau mau. Dan balasannya? Kau bunuh aku dengan ending murahan?! Apa kau kira aku boneka?!”

Windri panik. “Lho… lho… tunggu dulu, itu kan bagian dari cerita! Pembaca suka drama tragis! Itu bikin mereka nangis, bikin rating naik!”

“Rating kepalamu!” Arkana mendengus. Petir kecil menyambar di belakangnya entah dari mana. “Aku menolak mati dengan cara konyol!”

Windri mengangkat tangannya seperti mau menenangkan anak kecil yang ngambek. “Eh, sabar dulu, bro! Lagian kamu kan cuma tokoh fiksi—”

“CUMA TOKOH FIKSI?!” Arkana makin marah. “Coba kamu rasain dulu jadi aku! Disiksa di tiap bab, dilempar ke jurang, ditusuk musuh, dikhianati sahabat… lalu ditulis mati tragis?!”

Windri berkeringat dingin. Dalam hati ia menjerit: Ya Tuhan, kenapa bukan karakter sampingan yang keluar duluan?! Kenapa harus yang paling gampang ngamuk?!

Lihat selengkapnya