Pagi di Toraja biasanya indah: cahaya matahari menembus sela-sela pegunungan, suara ayam jantan bersahutan, dan aroma kopi segar menyeruak ke udara.
Tapi bagi Windri Pabendan, pagi ini sama sekali tidak indah.
Ia membuka matanya dengan lelah. Semalaman ia nyaris tidak tidur karena kamarnya berubah menjadi kos-kosan karakter fiksi. Di sebelah tempat tidurnya, Arkana masih terlelap sambil memeluk pedang entah apa nggak sakit tidur begitu. Lira duduk tegak dengan wajah segar, seperti habis minum kopi lima gelas. Sementara Kumo… sudah menguasai kulkas.
“Eh, Penulis udah bangun?” tanya Kumo ceria sambil mengunyah pisang goreng yang jelas-jelas milik Windri. “Aku bikin sarapan dari stokmu, ya. Tenang, tinggal sisa dua butir telur, cukup buat seminggu kan?”
Windri menatapnya kosong. “Astaga, NPC kok jadi lebih betah di rumahku daripada aku sendiri…”
Belum sempat ia menghela napas, Arkana mendadak bangun. Ia berdiri tegak, sorot matanya tajam. “Baiklah, saatnya kita lanjutkan pembahasan semalam.”
Windri langsung panik. “Pembahasan apa lagi? Aku baru bangun, bisa nggak kasih aku waktu sikat gigi dulu?”
Arkana menggeleng dramatis, seolah sedang pidato di depan pasukan. “Tak ada waktu untuk hal sepele! Aku menuntut ending bahagia. Aku menolak jadi korban dramatisasimu lagi!”
Lira mengangkat papan tulis kecilnya, tulisan baru terpampang:
Target Hari Ini: Paksa Penulis Menulis Ulang Ending.
Ia tersenyum manis. “Arkana benar. Kau harus berjanji, Windri. Aku ingin hidup bahagia, menikah, punya rumah dengan pagar putih… pokoknya seperti novel romantis murahan yang laku keras itu.”
Windri hampir tersedak kopinya sendiri. “Apa-apaan?! Kalian pikir gampang nulis cerita kayak gitu? Nggak semua pembaca suka happy ending, tahu! Kadang mereka butuh tragedi biar emosinya terguncang.”
Arkana menepuk meja, hingga cangkir hampir terjatuh. “Pembaca? Kau kira aku peduli? Aku yang menjalani penderitaan itu, bukan mereka!”
Windri ingin membalas, tapi Kumo sudah menyela. Ia duduk santai di kursi dengan ember keripik di tangan. “Aku setuju sama Arkana. Ending bahagia jauh lebih enak. Bayangin kalau novel berakhir dengan pesta makan besar… uh, indah banget.”
Windri menepuk jidat. “Kumo, novel itu bukan iklan restoran!”
“Tapi serius lho,” lanjut Kumo sambil mengunyah keras-keras. “Aku kan NPC, biasanya nasibku dilupakan begitu saja. Kalau endingnya bahagia, mungkin aku dapat jatah makanan gratis di pesta pernikahan Arkana sama Lira. Setidaknya aku kenyang.”
Arkana mengangguk penuh wibawa. “Lihat? Bahkan NPC pun setuju denganku. Suara mayoritas sudah jelas.”
“Mayoritas dari mana?!” Windri hampir berteriak. “Ini bukan voting RT!”
Windri mencoba menenangkan diri. Ia menaruh cangkir di meja, lalu berbicara dengan nada lebih serius.
“Dengar, aku paham kalian ingin bahagia. Tapi kalau aku bikin cerita semua senang, semua tertawa, pembaca bisa bosan. Drama dan penderitaan itu bumbu! Tanpa itu, kalian cuma karakter datar yang nggak memorable.”
Arkana menyilangkan tangan, wajahnya keras. “Aku lebih memilih datar tapi hidup daripada dramatis tapi mati konyol.”
Lira menuliskan sesuatu lagi di papan:
Bumbu boleh, tapi jangan overdosis.
Ia mengangkat papan itu ke wajah Windri dengan senyum licik. “Kalau terlalu banyak air mata, pembaca juga enek. Percaya deh, happy ending lebih menjual. Aku sering baca Wattpad.”
Windri ternganga. “Sejak kapan heroine fiksi baca Wattpad?!”
Lira mengedip nakal. “Sejak aku bosan kau bikin aku nangis di tiap bab.”
Windri terdiam. Untuk sesaat ia merasa… kalah debat.
Kumo tertawa sambil berdiri. “Kalau gitu gimana kalau kita musyawarah aja? Kita bikin forum! Judulnya: Forum Karakter Menuntut Hak Hidup Layak.”
Ia mengangkat ember keripik seperti mikrofon. “Saya sebagai moderator akan memimpin sidang. Agenda pertama: apakah kita setuju untuk memaksa Penulis bikin happy ending?”
Arkana berdiri dengan penuh semangat. “Setuju!”
Lira mengangkat papan bertuliskan besar-besar: SETUJU.
Kumo menoleh ke Windri. “Silakan, Penulis. Suaramu?”
Windri menatap mereka bertiga dengan wajah frustasi. “Kalau aku bilang nggak setuju, kalian semua bakal ngamuk, kan?”