Windri Pabendan tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah secepat ini. Dalam tempo kurang dari seminggu, statusnya bergeser dari penulis mageran yang sering telat deadline menjadi pemilik kos ilegal untuk karakter fiksi.
Sungguh, siapa pun yang mendengar kisah ini pasti mengira ia bercanda. Tapi kenyataannya rumah kecilnya yang biasanya tenang kini dipenuhi kekacauan.
Arkana, si protagonis gagah nan dramatis, sudah resmi menempati ruang tamu. Ia menggelar selimut di atas sofa dan menyebutnya “tempat peristirahatan pahlawan.” Lira, sang heroine licik tapi manis, berhasil menyusup ke kamar Windri dan menguasai setengah ruang dengan koper, baju, dan papan tulis anehnya. Sementara Kumo… ah, Kumo jelas-jelas tidak pernah diundang, tapi entah bagaimana selalu ada di kulkas, di dapur, atau di pojok rumah sambil ngemil.
Windri menatap mereka satu per satu dari pintu kamarnya. Rambut panjangnya yang biasanya rapi kini berantakan, wajahnya kusam karena kurang tidur, dan lingkar matanya makin tebal.
“Kenapa hidupku tiba-tiba berubah jadi sinetron absurd?” gumamnya lirih.
Hari kedua Windri sebagai “ibu kos dadakan” makin tak masuk akal.
Pagi-pagi, ia bangun bukan karena alarm, melainkan karena suara Arkana berteriak:
“BANGUN! ADA INVASI!”
Windri terloncat, panik, “APA LAGI?!”
Ternyata, “invasi” yang dimaksud Arkana hanyalah kucing tetangga yang menyelinap lewat jendela. Arkana sudah mengangkat pedang, siap duel.
“ARKANA! Itu cuma kucing! KUCING!” Windri menepuk jidatnya.
Kucing itu mengeong, lalu kabur. Arkana menghela napas dalam, “Untung aku sigap. Kalau tidak, mungkin kita sudah jatuh ke tangan musuh.”
Windri ingin pingsan.
Sementara itu, Lira sibuk memimpin “rapat strategi” di ruang tamu. Dengan papan tulisnya, ia menulis besar-besar: Misi: Ending Bahagia.
“Kita harus pastikan Windri tidak menulis tragedi lagi,” katanya sambil menunjuk Windri dengan spidol merah.
Windri protes, “Hei! Aku penulisnya! Aku punya kebebasan kreatif!”
“TIDAK!” Arkana dan Lira kompak menolak.
Windri terdiam. Rasanya seperti menghadapi serikat buruh karakter fiksi yang sedang mogok kerja.
Di tengah kekacauan itu, Kumo muncul dari dapur dengan wajah penuh remah keripik. “Eh, ada rapat ya? Aku ikut aja, biar ada camilan.”
“Ini bukan rapat makan, Kumo!” Windri nyaris melempar bantal.
Tapi tentu saja, Kumo sudah duduk di kursi dengan santai, menyalakan kamera ponsel. “Aku live-stream aja, biar penonton tahu konflik internal kita.”
“JANGAN DI-LIVE!” Windri menjerit.
Hari berganti sore, Windri benar-benar kelelahan. Rumahnya kini penuh poster buatan Lira bertuliskan: STOP TRAGEDI, SAVE HEROES, dan PENULIS SADIS TIDAK AKAN MENANG.
Windri duduk di sudut kamar, berusaha mengetik naskah. Tapi setiap kali ia mencoba menulis, selalu ada interupsi.
Arkana ingin memastikan tidak ada kata “kematian tragis.”
Lira ingin menambahkan adegan romantis konyol.
Kumo… cuma ingin nambah adegan makan sate.
Windri akhirnya menutup laptop dengan keras. “Aku nggak bisa hidup begini! Rumahku bukan kos-kosan karakter, ini neraka penulis!”
Namun di balik rasa frustasi itu, entah kenapa, Windri sadar: kehidupannya yang tadinya membosankan kini jadi penuh warna—meski warnanya absurd.
Dan ia tahu, ini baru awal.
1. Pagi yang Tidak Normal
Hari itu dimulai dengan teriakan Arkana.