Windri Pabendan sudah hampir menyerah dengan kehidupannya. Baru beberapa hari sejak karakter-karakternya keluar dari laptop, rumahnya sudah lebih mirip kos-kosan liar daripada hunian penulis. Arkana rebutan kasur, Lira nempel terus dengan papan tulisnya, dan Kumo jadi makhluk paling setia menjaga kulkas.
Tapi malam itu, masalah yang lebih besar datang.
Ponselnya bergetar, menyalakan layar yang remang di kamar. Nomor tak dikenal mengirim pesan singkat:
“Windri . Deadline naskahmu tinggal satu malam. Jika tidak selesai, konsekuensinya… fatal.”
Windri membeku. Ia mengucek mata, memastikan dirinya tidak salah baca. “Apa… apaan ini? Deadline satu malam?! Itu mustahil!”
Arkana yang tidurnya super ringan langsung bangkit, masih dengan pedang di tangan. “Deadline? Itu musuh baru ya? Dimana letaknya? Biar aku hajar!”
Windri menatap Arkana dengan wajah kosong. “Kalau deadline bisa dilawan pakai pedang, semua penulis di dunia udah jadi happy.”
Lira, yang ternyata masih melek sambil menulis rencana baru di papan tulis, mendekat penasaran. “Tunjukkan pesannya.”
Windri menyerahkan ponsel. Lira membaca, lalu mendecak. “Hm, gaya bahasanya misterius sekali. Bisa jadi dia benar-benar editor… atau monster yang menyamar jadi editor.”
Kumo nongol dari dapur, masih kunyah keripik. “Kalau editor, biasanya bentuknya nggak manusia. Dia bisa berupa e-mail jam 3 pagi, notifikasi WhatsApp yang bikin jantung copot, atau suara seram di kepala: ‘mana revisinya?’”
Windri merinding mendengar itu. “Astaga, jangan nakut-nakutin. Aku benar-benar nggak siap!”
Keesokan paginya, teror itu berlanjut.
Sebuah paket misterius tergeletak di depan pintu rumah. Windri membuka dengan hati-hati. Isinya… sebuah jam pasir besar, dengan secarik kertas:
“Waktu terus berjalan. Selesaikan naskahmu sebelum pasir habis.”
Windri langsung menjerit. “Ini apaan sih?! Editor atau hantu horor?!”
Arkana menatap jam pasir itu serius. “Ini jelas sihir tingkat tinggi. Jika pasir habis, kemungkinan besar akan ada kiamat kecil di rumah ini.”
“KIAMAT APAAN?!” Windri hampir nangis.
Lira justru terlihat semangat. “Kalau begitu, kita punya batas waktu. Strategi kita harus lebih ketat!” Ia menuliskan di papan: Target: Ending Bahagia sebelum Pasir Habis.
Windri memegang kepala. “Aku harus nulis, tapi gimana bisa kalau kalian semua terus ikut campur?!”
Arkana mengacungkan pedang. “Aku hanya akan membiarkanmu menulis jika aku hidup sampai akhir cerita.”
Lira menambahkan, “Dan aku harus mendapat ending romantis yang bahagia.”
Kumo, sambil makan mi instan, bersuara, “Aku sih nggak banyak nuntut. Cukup kasih aku spin-off makanan. Judulnya ‘Kumo dan 1000 Resep Dunia Lain’.”
Windri menjerit ke langit-langit, “AKU BUTUH KETENANGAN!!”
Siang itu, Windri mencoba menulis dengan paksa. Laptop terbuka, kursor berkedip-kedip, tapi pikirannya kosong.
Setiap kali ia menulis satu kalimat, Arkana langsung mengintip.
Windri: “Arkana berdiri gagah, namun hatinya dipenuhi luka…”
Arkana: “Hei! Kenapa lagi-lagi aku disiksa batin?! Kasih aku adegan keren dong, minimal ngalahin naga atau semacamnya!”
Windri menghapus. “Oke, fine.”
“Arkana menghunus pedang, siap menebas musuh…”
Lira melirik layar. “Musuhnya siapa? Kalau bukan musuh cinta, nggak menarik. Tambahkan adegan aku jatuh ke pelukan Arkana!”
Windri mengetik dengan gusar, “Arkana bertarung melawan monster bayangan, tiba-tiba Lira terjatuh—”