Aku tidak pernah menyangka jika momen jatuh cinta saat SMP menjadi awal mula cerita ini. Aku suka dengan Kadita. Dia adalah teman sekelas di kelas dua SMP. Namun, dia suka pria lain, bahkan lebih tua darinya. Dia menyukai Miroslav Klose dan senang bercerita tentang betapa hebatnya pemain sepakbola timnas Jerman itu di Piala Dunia 2006.
“Miroslav Klose adalah pria idamanku! Dia tampan dan jago main bola!” ucap Dita di depanku dan cowok-cowok lainnya di koridor kelas.
Aku hanya bisa tersenyum masam. Namun, sejak itu, aku mendukung timnas Jerman. “Aku juga menjagokan Jerman untuk juara dunia!” sahutku, berusaha mengimbangi antusiasmenya, meski aku tak tahu banyak tentang sepak bola.
Ardika, teman sebangkuku, mendengar obrolan itu dan ikut terbakar semangat. “Aku akan menjadi pemain sepak bola seperti dia!” katanya penuh percaya diri.
Siangnya, Ardika benar-benar mencoba mewujudkan mimpinya. Ia menjadi kiper di jam pelajaran penjaskes. Namun, nasib tidak berpihak padanya hari itu. Gawang yang dijaganya kebobolan tujuh kali. Saat dia duduk di pinggir lapangan dengan wajah kecewa, aku menepuk bahunya sambil berkata, “Mungkin kamu lebih cocok jadi komentator sepakbola, Dika.”
Ketika Piala Dunia selesai, Miroslav Klose tidak lagi jadi topik favorit Dita. Seiring waktu, dia mengganti idolanya dengan sosok baru—Harry Potter. Aku melihatnya di koridor kelas, membawa buku tebal dengan sampul bergambar anak laki-laki yang menaiki sapu terbang. Matanya serius menelusuri halaman demi halaman.
“Kamu baca buku setebal itu, Ta?” tanyaku takjub.
“Ya. Aku bisa menyelesaikan setengahnya dalam waktu semalam,” jawab Dita bangga, dengan senyum yang membuatku makin kagum.
“Aku pinjam bukunya. Aku bisa menyelesaikannya dalam semalam!” Ardika ikut menantang, walau aku tahu dia bukan tipe pembaca yang telaten.
Dita menggeleng, lalu dengan nada lembut berkata, “Aku tidak yakin kamu akan suka. Untuk permulaan, coba baca komik ini dulu.” Dia menyerahkan komik Shinchan, yang tentu lebih ringan daripada petualangan penyihir cilik favoritnya itu.