Aku pernah menjadi pengagum rahasia di SMK. Seperti seorang penyair tanpa nama, aku menulis puisi untuknya. Namanya Sari, gadis manis dengan rambut panjang dan senyum yang selalu berhasil menyemangati untuk berangkat sekolah lebih pagi. Puisi-puisiku tertulis di lembaran kertas lusuh, penuh dengan kata-kata yang mencerminkan perasaanku. Namun, Sari tidak pernah tahu siapa yang menulisnya. Dia hanya tahu bahwa sepasang mata di balik kacamatanya adalah pusat inspirasiku.
“Puisi ini bagus,” kata Sari saat pertama kali membacanya, matanya berbinar seolah menemukan hal baru yang menarik.
“Siapa penulisnya?” tanyanya, menoleh ke teman-temannya. Mereka hanya mengangkat bahu. Aku yang berdiri tak jauh dari sana pura-pura sibuk dengan buku di tanganku.
Tentu saja dia mau membaca tulisanku, karena puisi-puisi itu tentangnya—tentang matanya yang bersinar seperti rapor juara kelas, tentang senyumnya yang mampu menjawab soal-soal rumit matematika. Tapi saat aku mencoba menulis puisi tentang keindahan alam atau sekadar menggambarkan senja yang memerah di ufuk barat, responsnya berbeda.
“Aku nggak ngerti maksudnya,” kata Sari sambil melipat kertas puisiku dan menyimpannya di buku catatannya. Tak ada komentar lebih lanjut. Saat itu aku sadar, Sari hanya tertarik karena dia adalah tokoh utama dalam puisiku, bukan karena aku atau kata-kataku.
Ardika selalu mengamati kejadian itu dengan senyum tipis. Suatu hari, dia menarik tanganku, membawa langkah kami menuju jendela kelas yang menghadap ke taman sekolah.
“Kamu butuh sudut pandang yang lebih luas daripada sekadar Sari,” kata Ardika, sambil menunjuk ke arah taman yang penuh dengan siswa bermain. “Ayo, ikut aku.”