Hari itu, di ruang istirahat selama sosialisasi PKL di perusahaan BUMN di kotaku, aku duduk di sudut sambil membaca Cinta Brontosaurus yang baru aku pinjam dari perpustakaan. Di sebelahku, Puspa, seorang cewek dari SMK kota tetangga, duduk sambil membuka buku Lupus yang dipinjam dari temannya. Suasana istirahat yang tenang membuat kami mulai terlibat dalam percakapan ringan.
“Buku Lupus itu seru banget, ya?” aku memulai, sambil menunjukkan buku yang aku pegang. “Aku juga suka banget dengan buku-buku yang menghibur seperti ini.”
Puspa tersenyum dan mengangguk. “Iya, Lupus memang salah satu favoritku. Aku suka cara Hilman Hariwijaya menulis dengan humor yang khas.”
Aku mulai merasa nyaman dengan percakapan ini. “Aku ingin bisa menulis cerita yang lucu dan menarik, seperti Raditya Dika.”
Puspa tampak terkejut. “Serius? Aku baru tahu kamu punya mimpi jadi penulis. Apa kamu sudah mulai menulis?”
Aku mengangguk. “Iya, aku sudah mulai menulis beberapa cerita di notes Facebook. Tapi aku masih merasa banyak hal yang perlu aku pelajari untuk bisa benar-benar menguasai seni menulis.”
“Wow, itu keren!” kata Puspa. “Kalau kamu suka gaya menulis yang lucu dan menghibur, mungkin kamu bisa belajar dari Hilman Hariwijaya juga. Gaya penulisannya bisa memberikan banyak pelajaran tentang bagaimana membangun cerita yang membuat pembaca terus ingin membaca.”
“Sebenarnya, aku selalu mencari cara untuk meningkatkan kemampuan menulisku. Mungkin mempelajari karya-karya Hilman Hariwijaya bisa jadi langkah awal yang baik,” kataku.
Puspa mengangguk, terlihat puas dengan percakapan kami. “Coba deh baca beberapa novel Lupus. Perhatikan bagaimana dia menyusun cerita dan mengembangkan karakternya. Kamu pasti bisa mendapatkan banyak inspirasi.”
Pulang dari PKL, aku merasa semangat. Sesampainya di rumah, aku membuka ponsel dan masuk ke Facebook. Sambil memeriksa feed, aku teringat saran Puspa untuk membaca karya-karya Hilman Hariwijaya. Aku segera mencari akun Hilman Hariwijaya di Facebook dan mengirimkan permintaan pertemanan. Semoga aku bisa mendapatkan inspirasi langsung dari penulis Lupus yang sangat dikagumi oleh Pus.
Setelah itu, aku mencari akun Puspa. Ternyata, dia adalah ketua geng cewek cantik di SMK dari kota tetangga. Foto-foto di akun Facebooknya menampilkan Puspa bersama teman-teman segengnya dengan berbagai pose ceria.
Aku merasa terinspirasi oleh Puspa dan gengnya. Dengan ide yang baru muncul, aku mulai menulis cerita tentang geng mereka dengan gaya teenlit, diselipi humor ala Raditya Dika. Dalam ceritaku, geng Puspa adalah kelompok gadis keren dengan petualangan konyol di sekolah yang penuh warna.
Setelah selesai menulis, aku memposting cerita tersebut di Facebook dan menandai Puspa serta teman-temannya. Beberapa menit kemudian, notifikasi komentar mulai berdatangan.
Komentar di Note Facebook:
Rina: "Aku nggak nyangka kamu bisa bikin cerita tentang geng kita. Kayak nonton film komedi! 😂👍"
Caca: "Wah, keren! Geng kita jadi terkenal nih! Terima kasih sudah memasukkan kita dalam ceritamu!"
Cindy: "Aku ngakak bacanya! Teruskan menulis, ya! Aku mau baca cerita-cerita selanjutnya!"
Yuni: "Keren! Pasti Puspa senang banget. Kapan ada episode selanjutnya?"
Puspa: "Wow, ini keren banget! Gaya penulisannya lucu. Terima kasih sudah menulis tentang kami!"
Ardika: “Bagus.”
Aku merasa sangat senang dan dihargai dengan pujian yang aku terima. Namun, aku juga ingat pesan Puspa tentang membaca Lupus. Aku segera memperbarui status Facebook-ku untuk memberi tahu teman-teman bahwa aku sedang membaca buku Lupus yang aku pinjam dari perpustakaan.
[Di Facebook, Update Status] “Sedang membaca buku Lupus yang dipinjam dari perpustakaan. Terima kasih Puspa atas sarannya! Bukunya seru banget! 😊📚”
Tak disangka, aku melihat Puspa juga memposting foto di Facebook dengan latar belakang rak buku perpustakaan dan buku Cinta Brontosaurus yang sama seperti yang aku pinjam sebelumnya. Kami memiliki ikatan yang semakin kuat karena saling bertukar bacaan.