Di masa-masa kuliah, aku mulai rutin menulis catatan di Facebook. Saat itu, Facebook bisa diakses tanpa menggunakan kuota internet, membuatnya menjadi tempat yang sempurna untuk menuangkan pikiran setiap hari. Aku bertekad menulis satu tulisan setiap hari, entah itu tebak-tebakan, cerita lucu, atau sekadar potongan cerita kehidupan. Dari sini, aku menemukan kenyamanan dan kebebasan.
Menulis di Facebook menjadi semacam terapi. Satu per satu catatan itu terkumpul, dan tanpa kusadari, jumlahnya sudah cukup banyak untuk dijadikan buku. Namun, menerbitkan buku tidak semudah mengunggah catatan di media sosial. Selain butuh biaya, keberanian juga menjadi modal utama. Aku ingin karyaku bisa dibaca oleh lebih banyak orang, bukan hanya sekadar teman-teman kampus yang kebetulan mengikuti akun Facebook-ku.
Keberuntunganku datang dari sosok yang kusebut sebagai "Bibi Peri," seorang kerabat yang tidak hanya percaya pada mimpiku, tapi juga rela mengulurkan bantuan finansial untuk menerbitkan buku pertamaku secara indie. Tanpa ragu, ia membantu biaya penerbitan buku itu. Bibi Peri adalah penyelamat, dan aku merasa sangat bersyukur ada seseorang yang begitu percaya pada potensiku. Dengan bantuannya, buku pertamaku akhirnya terbit, sebuah kumpulan cerita ratapan yang kutulis di dinding Facebook.
Pada hari peluncuran buku itu, aku tak menyangka bahwa di antara para pembeli ada seorang gadis imut bernama Dara. Dara menjadi pembaca setiaku dan sering meninggalkan komentar positif di Facebook setiap kali aku memposting tulisan baru.
Dara menyukai ceritaku yang sederhana. Rasanya, melihat seorang pembaca yang benar-benar menikmati karyaku adalah hadiah terbesar yang pernah kudapatkan. Dara menjadi penggemar pertamaku, dan aku sering tersenyum sendiri membayangkan bahwa tulisanku bisa membuat seseorang tersenyum.
Selain menulis catatan, aku juga rajin mengikuti lomba menulis cerpen. Banyak penerbit indie yang menawarkan kesempatan untuk menerbitkan cerpen dalam antologi bersama penulis lainnya. Hadiah dari lomba ini bukan berupa uang, melainkan kebanggaan bahwa karya kita dimuat dalam sebuah buku. Meski hadiah materi tidak ada, perasaan puas saat melihat nama tercetak di halaman buku terasa sangat membanggakan.
Namun, tidak semua usaha membuahkan hasil manis. Ada kalanya cerpenku gagal terpilih, dan kekecewaan itu terasa berat. Sudah capek-capek menulis, menyusun plot, dan memoles dialog, tapi naskahnya tidak lolos. Rasanya seperti berlari kencang tapi tak pernah mencapai garis finis. Lebih dari sekali, aku merasa lelah dan ingin berhenti. Tapi di setiap langkah mundur, aku selalu teringat akan dorongan Bibi Peri dan senyum Dara. Mereka memberiku alasan untuk terus maju.
Kejadian yang paling menyedihkan adalah ketika sebuah lomba cerpen yang kuikuti justru meminta biaya kepada penulis yang naskahnya lolos untuk diterbitkan dalam antologi. Rasanya tidak adil. Sudah bersusah payah menulis dan menyelesaikan cerita, tetapi masih harus membayar untuk melihat karya kita terbit.
Bukan masalah uang semata, tapi rasa kecewa yang datang karena merasa seperti dimanfaatkan. Meski begitu, aku tidak berhenti berusaha. Pengalaman pahit ini membuatku semakin yakin bahwa menulis bukan hanya soal diterbitkan atau menang lomba, tapi soal bagaimana kita bisa terus berkarya meski jalan tidak selalu mulus.
Menulis satu hari satu tulisan mengajarkanku banyak hal: ketekunan, kesabaran, dan yang terpenting, menemukan kebahagiaan dalam prosesnya. Dan di balik layar, selalu ada orang-orang seperti Bibi Peri dan Dara yang menjadi inspirasi untuk terus menulis dan berbagi cerita.
Marah dengan fenomena penulis dipaksa harus bayar untuk menerbitkan buku, Kepala Sekolah ALO, Pak Kokok, membuat gebrakan baru. Ia memberikan kesempatan langka bagi para murid untuk menerbitkan buku di penerbit miliknya. “Kita adakan sayembara cerpen dan novel,” ujar Pak Kokok di grup ALO. “Tidak ada biaya pendaftaran, dan bagi yang karyanya lolos seleksi editor, akan mendapatkan hadiah uang tunai dan royalti.”
Bagi murid ALO, ini adalah peluang emas yang tidak bisa dilewatkan. Aku, bersama Ardika dan para penulis lainnya, mulai mempersiapkan diri. Setiap jurusan memiliki gaya dan tema masing-masing: misteri dengan cerita-cerita horor dan detektif yang mendebarkan, fantasi dengan novel-novel ala Harry Potter dan Twilight, dan romance yang didominasi penulis wanita dengan kisah cinta yang manis dan menggugah. Sedangkan kami, para penulis komedi, tentu saja merancang cerita yang diharapkan mampu mengocok perut para pembaca.