Mobil kami berhenti di satu rumah makan padang di kota Prabumulih. Ini titik pemberhentian supir buat beristirahat. Ketika penumpang lain keluar dan saya menawarkan segelas air putih, Wari, rekan kerja saya, menutupi matanya yang bengkak. Sebelum rentetan ocehan mengenai betapa tidak adil hidupnya sebagai orang yang tidak tampan di dunia, ia sudah lebih dulu menangis tersedu-sedu. Saya terpaksa menahan lapar, menemaninya yang kembali meratapi ketidakberuntungan.
Apakah kisah percintaan hanya milik orang rupawan? Itulah pertanyaan yang diajukan Wari ketika kami melakukan perjalanan dinas dari Lahat ke Cianjur. Agaknya, sepasang kekasih yang duduk di kursi depan mobil travel tadi mempertebal suasana hatinya yang buruk. Ia sering menyeletuk penuh kesadaran. Buktinya, kalau dua manusia rupawan di depan kami tadi saling mengusap kepala, Wari yang kalau kau lihat sekilas memang tidak lebih menarik ketimbang batu kali, sering memasamkan kata-kata.
Wari tidak menangis lagi. Namun kekesalannya menjadi-jadi setelah seorang anak kecil mendatangi kami dan menawarkan dagangan rujaknya. Wajahnya kotor. Badannya masam. Alisnya turun meski senyumnya berkembang-kembang waktu saya mengeluarkan dompet. Namun, anak itu segera lari usai disegak Wari. Wari mengatakan kepada saya, kalau orang yang tidak beruntung tidak baik mendatangi dua orang yang tidak beruntung.
Wari nyeletuk lagi, lagi, lagi. Bahaya. Hal kecil apapun bisa memantik duka orang ini. Ia bahkan—sungguh baik hati sekali—meminta saya menutup mata. Katanya, apa yang ia lihat tidak adil bisa jadi tidak adil pula dalam penilaian saya. Saya maklum saja. Saya tahu mengapa dia kesal. Pernikahannya tinggal lima bulan lagi, namun pagi ini melalui sms, pasangannya memutuskan hubungan dengan alasan mengada-ada—muka Wari tak sedap dipandang di pagi hari. Itu lebih menyedihkan ketimbang alasan tak suka cara seseorang ketika mengunyah makanan.