PENULIS YANG MERANCANG KEMATIAN TOKOH UTAMANYA

Dee Hwang
Chapter #3

Ular

Dimuat di Litera, 1 Mei 2016.

*****

Pak Buntak buru-buru mengantongi telepon genggamnya. Suara kepala sekolah tertawa dengan keras, semacam aba-aba agar semua guru dapat menyambut tetamu dengan senyuman ramah, menggema sampai ke ujung dapur sekolah.

Dua orang lelaki berseragam abu dengan tanda bintang di bahu baju mengetuk-ngetukkan langkah macam sengaja. Suara "orang dinas" terdengar mengekor, sementara lelaki berbadan kecil yang punya kedudukan paling tinggi di kabupaten ada di barisan paling depan. "Nah. Macam inilah yang aku suka." Pak Bupati, lelaki berbadan mini dengan senyum sumringah itu meninggikan kepala.

Pak Buntak berdiri di belakang pintu dapur. Sesekali ia mengintip macam maling yang diburu massa. Pengarahan di lapangan akan segera dimulai dan ia berharap pak Bupati dapat segera naik ke podium. Biasanya, kunjungan satu kali setahun ini akan menjadikan pak Bupati sebagai pembina; hal yang tak pernah disukai para siswa apalagi bila seputar nasehat basi nanti disampaikan dibawah terik matahari pagi.

Setiap kali pak Bupati sampai ke sekolah ini, suasana sekolah akan selalu tegang. Macam kedatangan mertua yang tengah menyidak rumah menantunya sendiri, semua harus ditata sesuai dan berakting macam paling benar. Segala keburukan seperti datang terlambat, pakaian dan rambut siswa yang tak wajar, sampai kendaraan milik kepala sekolah yang lebih mewah dari milik bupati itu, disimpan dahulu.

Pak Buntak adalah guru yang lupa bahwa segala sesuatu wajib bersifat sempurna hari ini. Kepala sekolah pasti tak senang menemukannya menggunakan kemeja yang tak disetrika. Pak Buntak mengingat-ingat apakah ada guru yang dapat menjadi temannya bila ia ketahuan tengah bersembunyi dari penglihatan. Bu Rahma yang kerap mewarnai kuku jarinya senada dengan jilbab yang dipakai, pun Pak Rupar yang kerap salah memanggil nama, adalah dua guru yang ada dalam daftarnya.

*****

Lima menit menjelang pengarahan dan pak Bupati masih berdiri di depan pintu kantor guru. Sesekali ia melempar pandangan ke halaman dan memperhatikan betapa kering halaman semen itu. Bau debu berseliweran ketika penjaga sekolah yang menenteng ember setengah penuh, masih memercik-mercikan air seakan itu tugas piketnya.

"Semua sudah siap?"

Lihat selengkapnya