Penumpang Setia

Ery Sithi Badriyya
Chapter #2

Mulai Sadar

“Sudah turuti saja perkataanku. Hanya ada kita berdua di rumah ini. Tidak akan ada yang bisa pecahkan penyebab kematian kakakku,” 


Mendengar perkataan Lira yang begitu ringan dan karena memang Bima yang dasarnya adalah pria menakut, akhirnya menuruti saja perkataan Lira tanpa sedikit pun mencoba menghentikan rencana jahat wanita cantik berambut panjang itu.. Dia bergegas masuk kamar mandi untuk membersihkan diri malam panjangnya dengan Lira dan berharap setelah dia membersihkan diri dia akan lebih siap untuk menyampaikan kabar kematian Rara kepada pihak perangkat kampung.

 

Sama seperti Bima, Lira lalu meninggalkan pujaan hatinya itu menuju kamar tidurnya dan berdiam di sana sampai nanti Bima selesai membuat drama kematian Rara yang malang pada wakga kampung.


Meski rencana yang dibuat Lira terdengar mudah untuk dilakukan tapi bagi Bima semua ini tidaklah mudah. Dia ternyata butuh waktu yang panjang untuk menenangkan diri sebelum akhirnya pada dini hari sebelum adzan subuh berkumandang barulah kakinya sanggup keluar rumah untuk mengabarkan apa yang terjadi pada istrinya pada Ketua RT yang rumahnya berjarak sekitar seratus meter saja dari rumah istrinya.


Dengan wajah pucat Bima kemudian menceritakan jika Rara terpeleset karena ada anak tangga yang lapuk dan belum sempat dia perbaiki sejak seminggu yang lalu seperti rencana adik iparnya semalam. 


Sontak kabar itu membuat seisi kampung jadi gaduh. Beberapa warga lalu bersama Bima menuju tempat kejadian dimana tubuh Rara belum digeser sejengkalpun oleh suaminya.


“Innalillahi. Kasihan Mbak Rara. Kalau gitu Mas Bima bawa dulu jasad Mbak Rara ke rumah sakit untuk memastikan penyebab kematiannya,” tutur seorang tetangga saat mereka tiba di rumah berlantai dua itu.


“Iya, aku nggak berani mindahin tubuh istriku, Pak. Gimana, ya?” tanya Bima yang masih terlihat begitu syok.


“Biar saya bantu, Mas. Kan ada mobil ambulance milik masjid kampung. Kita bawa aja pake mobil itu,” usul salah seorang pria yang berdiri tidak jauh dari Bima.


“Iya, gitu aja kayaknya. Aku takut kenapa-napa. Jadi kita bawa aja,” lanjut Bima bersiap mendekati tubuh Rara yang masih bersimbah darah.


Mendengar percakapan Bima dan warga kampung dari kamarnya, Lira buru-buru keluar memang ada tidak jauh dari tempat tubuh Rara berada. 


Tangan Lira merentang dengan wajah penuh kemarahan mencoba menghalangi Bima dan wakga kampung yang siap membawa tubuh Rara. “Nggak usah, Pak. Kakakku sudah meninggal. Kami juga sudah sempat memberikan pertolongan tapi dia sudah tidak tertolong. Sudah, langsung di mandikan saja dan dimakamkan. Jangan ada lagi urusan sama pihak rumah sakit apalagi pihak polisi,” cegah Lira dengan ketus.


“Tapi, Lira. Kalau kita bawa ke rumah sakit dulu kan kakakmu bisa di periksa dulu, siapa tau dia sakit atau….”


“Udah, kakak udah meninggal.” potong Lira dengan ketus. “Aku juga sudah bilang ibuku, dia juga sudah sepakat kalau sebaiknya kita mandikan saja dia. Makin cepat dia dimakamkan makin bagus,”


Mendengar jawaban dari Lira, semua kening yang mendengar reaksi itu jadi curiga. Betapa tidak, sejak Lira keluar dari kamarnya. Lira tidak sedikitpun terlihat sedih apalagi menangis. Dia malah terus saja meminta semua orang percepat pekuburan kakaknya padahal kedua orang tua Lira saja belum pulang dari luar kota untuk menjenguk keluarga mereka yang baru pindah rumah.


Menyadari sikap gadis ini aneh semua orang mulai gaduh. Kata-kata sinis mulai terdengar dari warga yang berkumpul di tempat kejadian meski akhirnya Ketua RT memilih untuk memenuhi saja permintaan Lira untuk mempersiapkan prosesi pemakaman kakaknya sembari menunggu kedua orang tua Rara tiba.


Lihat selengkapnya