Lalu apakah ada pilihan yang lebih bijak selain menutup hidup di dunia ini? Meski aku tak yakin, hidup lagi sebagai orang lain atau akan menjalani hidup baru yang lebih masyur dari sebelumnya.
Di atas tali itu, dua pembisik mungkin sedang berunding, siapa yang berhasil membujukku dengan sebuah pernyataan; benar-benar mati atau gagal bunuh diri.
Sebelum kusiapkan alat-alat bunuh diri, lebih dulu kusiapkan waktu untuk berpikir. Biasanya aku menggunakan kata ‘melamun’ untuk menggantikan kata ‘berpikir’. Rasa-rasanya itu lebih pas bagi seorang penyair. Kita tidak benar-benar berpikir. Puisi adalah hasil melamun. Aku lebih setuju jika puisi adalah kupu-kupu di semesta lamunan. Siapa cepat menangkap, dia akan dapat.
Saking seringnya melamun. Aku masih bimbang tentang bagaimana mati yang kelak dipandang orang. Sudah pasti aku bukan Chairil atau Rendra yang matipun senantiasa diperingati, disembah hingga kini. Tapi aku bisa jadi lebih besar dari keduanya. Sebab aku akan menjadi Plath dari Indonesia. Toh jika setelah nanti tali temali menarik urat leherku tapi aku ternyata ditemukan masih hidup, aku masih akan dikenal sebagai Baudelaire dari Indonesia. Kebanyakan penyair dibesarkan setelah kematiannya, bukan? Puisi-puisi hasil lamunannya itu hidup setelah penyairnya mati. Dan, mungkin aku akan seperti itu. Orang akan lupa Chairil dan Rendra karena mereka mati tanpa pilihan. Sedangkan aku, akan mendatangi mereka di alam kematian dan menyalami mereka dengan penuh kesombongan.
“Perkenalkan, akulah Surya. Penyair yang mengalahkan popularitas anda berdua. Aku datang ke sini untuk memberitahu, dunia telah memilihku karena aku memilih cara matiku sendiri. Sedangkan anda hanya pasrah saat kematian datang. Puisi-puisi anda ialah omong kosong. Puisikulah yang nyata. Aku memilih sendiri, jalan kematianku.”
Siapa yang paling bahagia mendengar itu? Mungkin bukan aku. Tapi Si Sufi yang Berkamuflase, yang kutemui dua hari lalu. Saat itu, aku bertemu dengannya yang keleleran di jalan raya karena dianggap gila oleh orang-orang. Katanya, hanya ada dua pilihan mati, jika aku ingin orang-orang mengakui kepenyairanku. Pertama, mati dengan cara aneh. Selanjutnya, mati dengan cara mengenaskan. Keduanya bisa dilakukan hanya dengan gantung diri. Koran-koran akan meliput : SEORANG LAKI-LAKI BUNUH DIRI DI KAMAR KOS!
Oh tidak, sebentar. Kurang menjual. Kata laki-laki masih umum. Harus disematkan profesi, meskipun profesi itu aku sendiri yang melabelinya.