Penyanyi Miskin yang Terbelenggu oleh Mimpi

Jagaddhita Pradana
Chapter #1

Satu

Pada sebuah desa di Selatan pulau jawa, hiburan datang ketika ada pesta pernikahan.

“Cak Bandi.” Begitu warga Desa Bonteh memanggilnya. Seorang yang selalu dipanggil untuk menjadi penyanyi penghibur dengan iringan musik electone. Ia senantiasa datang kapan pun warga desa memanggilnya. Sebab dalam prinsip hidupnya, Cak Bandi berpedoman pada, “tidak ada rejeki yang boleh ditolak. Toh aku suka menyanyi, pekerjaanku penyanyi.” Jawabannya tiap kali menerima undangan menyanyi.

Kawannya dalam menyanyi sering berganti. Ada empat orang di Desa Bonteh yang mempunyai alat musik electone, sehingga sangat memungkinkan bagi penyanyi berganti-ganti pengiringnya. Apa lagi, pilihan penyanyi tidak hanya empat. Belasan biduan perempuan bisa menyanyi untuk empat electone-nan, tapi hanya satu laki-laki yaitu Cak Bandi yang menjadi penyanyi di Desa Bonteh.

“Cak Bandi, besok nyanyi di nikahannya anak Pak Ngateman?”

Nggih, Bu.” Jawab Cak Bandi kepada seorang tetangganya.

“Mantep Cak Bandi.” Patima tetangganya melanjutkan menjemur pakaian. Cak Bandi masih di depan teras rumahnya menulis. Sebagai penyanyi, tentu salah satu mimpinya adalah menulis lagu bikinannya sendiri.

Cak Bandi tinggal sendiri. Kedua orang tuanya telah meninggal. Ayahnya meninggal saat ia masih bayi dan Ibunya meninggal ketika usianya menginjak sepuluh tahun. Banting tulang Cak Bandi untuk mencari makan sehari-hari sebab ia tak mau menggantungkan hidup pada saudara-saudaranya. Ia ingin mandiri.

Ketika seorang paman menanyakan ketersediaannya untuk ikut tinggal bersamanya di hari ketujuh setelah meninggalnya sang Ibu, Cak Bandi menolaknya dengan halus. “Saya laki-laki. Saya rasa, saya bisa menjaga diri saya sendiri Pak.” Jawabnya. Sebagai seorang anak sepuluh tahun yang sedang mengalami tingginya ego, pamannya, Harianto mengiyakan.

Tiga hari setelah itu Paman kembali datang ke rumah Cak Bandi. Ia mengiyakan bukan karena tega hati melihat keponakannya hidup sebatang kara, tapi menjadi usahanya untuk bisa dekat dengan Cak Bandi dengan menurut pada apa yang dikatakanya. Saat kembali ke rumah Cak Bandi, Paman melihat Cak Bandi sedang mencuci baju yang sangat banyak dan menumpuk.

“Saya bantu-bantu tetangga yang tidak punya waktu untuk mencuci bajunya sendiri.” Dalam posisinya berjongkok Cak Bandi melihat dari ekor matanya Paman Harianto tetap berdiri di ambang pintu kamar mandi. “Bapak ndak perlu khawatir, saya sudah makan.” Cak Bandi berdiri, menghampiri pamannya untuk mencium tangan.

Harianto mengacak rambut Cak Bandi dengan lembut. Pamannya dari pihak ibu yang menggantikan sosok Bapak yang memang sudah tidak ada sejak Cak Bandi kecil, karena itu Cak Bandi memanggil pamannya dengan sebutan Bapak. Harianto sendiri juga tidak keberatan dipanggil Bapak, terlebih karena ia begitu menyayangi Cak Bandi seperti anak sendiri.

“Sudah makan Pak? Saya tadi masak tempe sama sop wortel.”

“Sudah. Sudah.” Harianto mengangguk dan memandang sayur sop dan tempe goreng di meja dapur. “Jangan buat teh Le, Bapak baru minum teh.” 

Kini Cak Bandi duduk menemani Pamannya di kursi kayu panjang di dapur. Dapur rumah Cak Bandi seperti rumah desa di sekitarnya, beralaskan tanah yang halus karena sengaja disiram setiap harinya. Atapnya langsung genteng tanpa penutup asbes. Kompor tungku yang masih tersisa beberapa kayu bakar di dalamnya.

Setelah beberapa saat berbincang. Cak Bandi pamit untuk melanjutkan mencuci baju. “Nanti kalau kesiangan takut ndak kering bajunya, Pak.” Seraya dengan Cak Bandi melanjutkan mencuci baju, Harianto pamit pulang.

Harianto sendiri selalu rutin mengecek kondisi Cak Bandi. Mulai dari tiga hari sekali, seminggu sekali, sampai berubah menjadi sebulan sekali. Karena memang benar apa yang dikatakan oleh Cak Bandi. Tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya, sebab anak Cak Bandi memang sudah siap untuk menjalani hidup sendiri. Pekerjaannya pun berubah-ubah. Mencuci baju tetangga, menjadi kuli untuk belanja ke pasar, disuruh membersihkan rumah oleh tetangga.

Segala pekerjaan akan ia lakukan asal mendapatkan uang untuk makan sehari-hari. Tetangga yang biasanya tidak tega melihat kondisi Cak Bandi biasanya juga memberikannya makanan setelah kerja. Namun, jika diberi makan secara cuma-cuma, Cak Bandi enggan menerimanya. Ia lebih senang jika disuruh melakukan sesuatu dan diberikan imbalan atas kerja yang telah ia lakukan.

Cak Bandi memang tidak melanjutkan sekolahnya sejak kematian Ibu. Tidak melanjutkan sekolahnya bukan berarti ia tidak melanjutkan mimpi. Ia tetaplah anak kecil yang memiliki mimpi besar. Ia ingin menjadi penyanyi, seniman musik yang dikenal oleh banyak orang. Cak Bandi ingin menjadi penyanyi seperti Rhoma Irama, idolanya.

Lagu-lagu Rhoma Irama kerap ia dengar di pasar, ketika ia disuruh oleh tetangga untuk belanja. Jika sudah mendengar sang idola, Cak Bandi biasanya berhenti sebentar di dekat penjual kaset. Ia menghafalkan lantunan lirik yang keluar dari mulut Rhoma, pelan-pelan ia ikut bersenandung. Didorong oleh kemauan yang tinggi, mimpi yang diperjuangkan tidak akan menjadi fantasi belaka.

Dengan alasan bisa mendengar suara sang idola, menjadi buruh belanja ke pasar menjadi pekerjaan yang sangat Cak Bandi senangi. Cak Bandi mampu menghafal banyak lagu Rhoma Irama diluar kepalanya. Dari bersenandung pelan di dekat penjual kaset, ia mulai berani mengeluarkan suara yang setidaknya bisa didengarnya sendiri. Penjual kaset menyadari bahwa seorang remaja kerap berhenti di depan kiosnya hanya untuk mendengar dan menyanyi. Penjual kaset bahkan tahu siapa penyanyi favorit Cak Bandi. Sebab jika penjual kaset memutar penyanyi selain Rhoma Irama, biasanya tak lama setelah itu Cak Bandi pergi.

“Saya belum pernah dengar lagu ini?” Tanya Cak Bandi kepada penjual kaset.

“Ini lagu baru Pak Haji Rhoma.”

Lihat selengkapnya