Penyanyi Miskin yang Terbelenggu oleh Mimpi

Jagaddhita Pradana
Chapter #2

Dua

Menurutnya, ia tak perlu bersolek. Baginya, tak perlu bersolek menjadi hal yang menguntungkan. Tak ada ruginya dengan tidak memberli barang-barang untuk perlengkapan make up, tak ada ruginya juga dengan tidak perlu repot menyiapkan banyak waktu untuk bersolek sebelum naik panggung.

“Aku mengidolakan Rhoma Irama. Tapi aku bukan dia.” Suatu ketika Cak Bandi menjelaskan kepada Durami, sanak orang yang menyewa jasanya untuk menyanyi.

Durami tak henti-hentinya menatap Cak Bandi yang menyanyi di atas panggung kecil dan pendek itu. Dalam kepalanya masih begitu tabu melihat seorang laki-laki yang menyanyi di acara pernikahan. Biasanya ada biduan jika memang empunya acara memiliki banyak uang untuk menyewa dangdut, tapi biasanya juga ada perempuan penyanyi yang menjadi vokalis dari grup elektone. Tidak seperti yang sekarang ini, pengiring musik elektone-nya laki-laki, penyanyinya juga laki-laki. Bagi Durami melihat laki-laki lain naik ke atas panggung bukan hal yang dinantikannya. Bukan hal yang bisa menghiburnya.

“Kamu bukan Haji Rhoma, dan kamu tak menghibur bagi kami.” Durami mengatakan itu sambil menoleh kepada banyak teman laki-laki yang duduk di sebelahnya. “Sebaiknya turun saja. Ganti dengan penyanyi perempuan.”

Cak Bandi diam menunggu Durami menyelesaikan kata-katanya. Setelah Durami diam seperti tampak menunggu Cak Bandi dan Gembung si pengiring musik elektone. Ternyata Cak Bandi tidak turun dari panggung. Ia memutuskan untuk kembali bernyanyi. Memberikan kode pada gembung untuk memutar musik selanjutnya yang sudah ada dalam daftar musik yang akan mereka bawakan. Tidak ada pilihan bagi Gembung meskipun sebenarnya ia enggan dan ingin turun dari panggung. Ia hanya bisa menuruti apa yang dikatakan oleh Cak Bandi, sebab telah menggenggam rapat microphone dan siap untuk bernyanyi.

Kembali menoleh kepada teman-temannya di samping panggung. Durami menggelengkan kepala, dari wajahnya sudah terpasang muka yang begitu jengkel dengan kelakuan Cak Bandi yang dinilainya tak tahu malu. “Sudah disuruh turun dari panggung kok tetap ngeyel menyanyi. Memang ada yang mau mendengarkanmu?!”

Nadanya yang meninggi membuat tamu-tamu lain di pernikahan menoleh kepada Durami dan Cak Bandi secara bergantian. Cak Bandi merasa tidak nyaman dengan cara tamu-tamu melihatnya, tapi ia tetap enggan untuk turun dari panggung.

“Cak. Cak Bandi. Turun saja, yuk!” Kata Gembung berbisik. Ia sudah tidak bisa lagi menahan rasa malu yang hinggap pada dirinya.

“Tunggu sebentar Mbung. Kita mainkan musik selanjutnya saja.”

“Saya malu Cak.”

“Saya tidak Mbung.”

“Saya turun dulu kalau Cak Bandi tetap di atas panggung seperti tak punya rasa malu seperti ini, saya tidak bisa.”

“Justru kalau kamu mengajakku turun dari panggung, aku malu.”

Gembung tak memahami maksud yang dikatakan oleh Cak Bandi. Ia memang lihai bermusik dan mengulik nada-nada. Tapi untuk berpikir diluar konteks musik, Gembung bukanlah orang yang secerdas Habibie. Bahkan jauh sekali jika dibandingkan dengan Habibie, putra bangsa yang sangat cerdas dan pintar.

“Kamu lihat Pak Sukatmojo yang duduk di depan tenda pernikahan ini?”

Gembung mengangguk.

“Dia yang membayar kita. Dia yang mutlak memiliki kewenangan di sini. Pak Sukatmojo membayar kita untuk menghibur sampai acara pernikahan anaknya ini selesai. Tapi kamu memilih untuk turun tanpa diminta olehnya? Malu aku Mbung tak bisa menepati kontrak yang sudah kita sepakati dengan Pak Sukatmojo.”

Mendengarkan penjelasan Cak Bandi, Gembung yang sebelumnya sudah berniat untuk mengemasi barang-barang electone-nya urung. Tanpa melihat kerumunan Durami yang meletup-letup, Gambung meletakan jari-jarinya yang gempal itu di atas elektone. Ia sudah siap untuk lagu selanjutnya “Prau Layar” sebagai pengiring Cak Bandi menyanyi.

Lihat selengkapnya