Penyesalan

Widayanti
Chapter #6

Takdir cinta Jia dan Bimo #6

Sabtu 22 Juli 1996, jam 8 pagi Bimo turun dari pesawat bersama teman-teman polisinya. Beberapa bulan tidak melihat Jia, Bimo mengeluarkan foto Jia dari saku miliknya.

"Jia, semoga hatimu masih mencintai aku," Bimo tersenyum dan memasukkan kembali foto Jia ke dalam saku miliknya, Bimo dan teman-temannya kembali ke kantor untuk laporan.

Jam 10 pagi, Bimo pergi ke rumah Jia namun Bimo tidak melihat sepeda motor milik Jia. Bimo mengeluarkan foto Jia dan menatap foto Jia dengan sedih.

"Kamu kemana Jia? Kenapa tidak ada di rumah? Apa mungkin ada di toko?" Bimo segera bergegas ke toko, namun toko tutup.

"Kemana aku harus mencari kamu Jia? Aku merindukan kamu." Bimo mendengar suara adzan, Bimo sholat di masjid terdekat.

Bimo berdoa, "ya allah, izinkan hamba berjodoh dengan Jia. Hamba mencintai Jia."

Bimo menarik nafas, "ya allah bantu hamba untuk bertemu dengan Jia, hamba sangat merindukannya, aamiin." Setelah berdo'a, Bimo memakai sepatu.

Setelah sholat Jia mengambil Al Qur'an dari dalam tas miliknya, "aku mengaji sebentar tidak apa-apa kan?"

"Tidak apa-apa Jia, kami akan menunggu." Ani dan Desi bersandar di tembok.

"Terima kasih," Jia tersenyum, Jia membuka AL Qur'an.

"بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم".


"وَأَنَّهُۥ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ".


"وَأَنَّهُۥ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا".


وَأَنَّهُۥ خَلَقَ ٱلزَّوْجَيْنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلْأُنثَىٰ".


Bimo mendengar suara orang mengaji yang sangat indah, Bimo mendekati suara tersebut. Bimo tersenyum, karena tahu bahwa suara itu adalah suara Jia, "suara mengaji Jia sangat indah."

Setelah Jia selesai mengaji, Bimo memberanikan diri untuk menyapa. "Assalamu'alaikum Jia."

Jia menoleh ke arah belakang, Jia sangat terkejut melihat Bimo yang berada di belakangnya. Jia berdiri dan mendekati Bimo, Jia tersenyum.

"Waalaikumsalam bang Bimo."

"Bisa kita bicara berdua?"

Jia menoleh ke arah sahabatnya yang masih duduk dan sedang memegang tangannya, "Jia jangan, dia sudah menyakiti hatimu." Desi melarang.

"Sofia pasti marah jika tahu kamu dekat dengan dia lagi," Ani ikut melarang.

"Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku, tapi aku harus menyelesaikan masalah aku dan Bimo dan ini adalah waktunya." Jia tersenyum.

"Jangan konyol Jia," Ani melarang.

"Pikirkan semua baik-baik," Desi melarang.

"Kalian persis seperti Sofia, selalu mencemaskan sesuatu secara berlebihan. Do'akan semua baik-baik saja," Jia tersenyum.

"Kamu benar-benar keras kepala," Desi kesal dengan perkataan Jia.

"Kalau begitu aku pergi bersama Bimo, kalian jangan mengatakan apapun pada Sofia. Assalamu'alaikum," Jia tersenyum dan mengambil tas miliknya.

"Waalaikumsalam," jawab Ani dan Desi bersamaan. Dengan kesal, Ani dan Desi melihat Jia dan Bimo bersama.

"Kamu sudah makan atau belum?"

"Aku belum makan."

"Mau makan bersama?" tanya Bimo dengan ragu.

"Iya mau, bagaimana jika kita makan di cafe di sana?" Jia menunjuk ke arah kanan.

"Kamu yang pilih tempatnya, biar aku yang menyetir sepeda motor milikmu."

"Ini kuncinya," mereka pergi ke cafe.

Setelah makan, mereka hanya diam dan saling menatap. Bimo menarik nafas untuk memberanikan dirinya, "bagaimana kabarmu Jia?"

"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja." Jia tersenyum.

"Aku minta maaf untuk masalah diantara kita, aku benar-benar menyesal dengan sikap ibuku padamu." Bimo mengenggam tangan Jia.

"Tidak apa-apa, aku sudah memaafkan." Jia tersenyum, tapi Bimo merasa ada jarak diantara mereka.

"Sudah berapa lama kamu beragama islam?"

"Baru 3 bulan yang lalu," Bimo dan Jia terdiam, mereka berdua merasa bingung harus berbicara apa.

"Apa aku masih punya kesempatan memiliki hatimu Jia?" Jia hanya diam menatap Bimo, Jia tidak tahu harus menjawab apa.

"Aku tahu tidak mudah mencintai seseorang yang sudah menyakiti hatimu," Bimo terdiam dan menunduk, sedih dengan semua yang terjadi.

Bimo melepaskan tangannya, tapi Jia merasa sedih. Bimo mengambil kotak di dalam tas miliknya, Bimo membuka kotak yang berisi cincin.

"Sebenarnya malam itu, aku ingin melamar kamu karena aku harus bertugas ke luar kota untuk waktu yang lama. Tapi aku tidak menyangka ibuku justru mengusir kamu," Bimo meneteskan air matanya.

"Keesokan harinya aku ingin bertemu kamu, tapi aku melihat sahabatmu berada di rumahmu. Aku tidak ingin mengganggu, padahal aku ingin berpamitan sebelum aku pergi bertugas ke luar kota."

Mendengar perkataan Bimo, Jia sedih. Jia mengenggam tangan Bimo, Bimo menatap wajah Jia yang tersenyum.

"Maafkan aku, aku sempat berfikir yang buruk tentang kamu. Hatiku masih mencintai kamu," perkataan Jia membuat Bimo bahagia.

"Kamu mau memulai semuanya dari awal bersamaku?"

"Aku mau, tapi bagaimana dengan ibumu?"

"Kita akan luluhkan hatinya bersama," Jia dan Bimo tersenyum.

"Sepertinya kamu juga harus meluluhkan hati Sofia."

"Aku pasti mendapatkan restu dari adik kesayangan kamu," Bimo mengenggam erat tangan Jia.

"Kalau begitu kamu mau memakai cincin ini kan?"

"Aku mau," Jia tersenyum, Bimo memasangkan cincin di jari Jia.

"Cincin ini sangat cocok untuk kamu."

Jia menatap cincin yang sangat pas di jarinya, "bagaimana kamu tahu ukuran cincin aku?"

"Sebenarnya aku bertanya pada adikmu, dia bilang jarinya sama dengan jarimu. Jadi aku beli ukuran yang sama," Bimo tersenyum.

"Tapi Sofia tidak pernah memberi tahu aku."

"Karena aku yang meminta Sofia untuk merahasiakan darimu, kamu suka cincin itu?"

"Suka, cincin ini sangat cantik. Terima kasih," Jia dan Bimo tersenyum.

"Aku senang jika kamu suka dengan cincin itu."

Lihat selengkapnya