Superimpose: Maret 2123.
Lampu-lampu di Kota Kumbang Api hari itu dengan cepat menyala seiring dengan pergeseran matahari yang menghilang sebelum sore menjelang. Kota yang menjadi pusat pengembangan kumbang yang mengeluarkan pijaran cahaya merah seperti api itu anginnya kencang sekali disebabkan oleh perbedaan suhu di permukaan laut Marititis yang lebih dingin dari suhu di daratan Kepulauan Seranak.
Di sisi utara dan selatan Kota Kumbang Api terdapat dua perkebunan umum cengek oren, cabe rawit berwarna jingga milik raja Multirungu dan sang istri Ratisudara yang secara khusus dibudidayakan sebagai peternakan kumbang api. Ribuan lebah api berpijaran merah di udara, meliuk-liuk melawan angin yang bergelombang dalam bentuk spiral. Kumbang-kumbang dengan bulb-bulb cerah seperti cherry yang menghisap sari-sari bunga dan cairan buah cengek oren itu semakin membulat terang seperti bola lampu.
Dengan backdrop Gunung Purapura yang menjulang setinggi 3.330 mpl, view spektakuler Telaga Kembang dari gedung-gedung pencakar langit, tampak melengkung dari pesisir timur kota megapolitan Kumbang Api. Gunung Purapura adalah landmark dari Pulau Abadua, pulau terbesar kedua dari Kepulauan Seranak, tempat bermukimnya suku Sandi yang nyaris punah oleh amalgamasi dari kelompok etnis dan ras berlainan di negeri kaya raya Indunia. Gunung merapi aktif ini memuntahkan lava terakhir kalinya pada tahun 3033 dalam sistem Kalender Wayah yang saat ini menjadi acuan untuk menghitung aktivitasnya. Sejak lahirnya energi terbarukan 123 tahun yang lalu, seperti geotermal dari panas lava dan hidrotermal dari sumber air panas Tirtalerang, namanya pun kemudian lebih akrab di telinga warga Kota Kumbang Api dengan Gunung Apiapi.
Dengan dikelilingi oleh Telaga Kembang, telaga buatan yang airnya disedot dari laut Kepulauan Seranak yang berjumlah 333 pulau, Kota Kumbang Api lebih mirip dengan "kota apung". Bukan sekedar gurauan jika orang-orang di Kepulauan Seranak menyebutnya juga dengan nama Kota Apung, sebab telaga yang memiliki 33 penghalang air itu awalnya merupakan pantai berkedalaman rendah dengan ratusan gundukan tanah berbatu karang yang jika batuan tersebut dihancurkan akan mengapung. Permukaannya ditutupi oleh rakit-rakit batu apung, yang akan muncul pada musim panas, walaupun sudah dibersihkan setiap akhir tahun oleh perusahaan pengembang batu apung. Adapun, pumice atau holystone yang bisa melambung kembali ke permukaan air walau sudah ditenggelamkan ke dasarnya itu menjadi jenis batu di puncak Gunung Esa, gunung yang membatasi Kota Kumbang Api dengan Kota Karang Terang. Setiap melewati winter solstice, puncak Gunung Esa akan ditutupi salju selama tiga hari. Setelah itu, snow atau esnya mencair, turun melalui bolongan karang dan merembes di atap Gua Sisa, gua yang menjadi tujuan bersemedi para penyihir zaman now. Dalam tiga hari itu, ritual semedi di Gua Sisa menjadi sesuatu yang sakral bagi para penyihir yang ingin menciptakan buatan-buatan kekinian.
Telaga Kembang yang awalnya bernama Telaga Ambang, tidak mirip kembang, sebab bentuknya yang lebih mirip cincin oval, akan tetapi diwarnai dengan perkembangan super canggih teknologi akhir masa. Bentuk oval ini diasosiasikan sebagai keutuhan dan kesatuan dan dibakukan sebagai seni bentuk untuk produk tablet terkini, seperti iBuah, gadget pengganti buku paket sekolah yang dikeluarkan oleh pemerintah misalnya. Ratusan jenis pesawat air dari mulai perahu, yacht, boat, pesawat terbang air, kapal bersayap, kendaraan permukaan tak berawak, papan layar dan juga pesawat-pesawat air bertenaga manusia seperti rakit, kano, kayak, dan papan dayung, berlayar ke segala arah atau hanya mengambang seperti kamar ambang. Kamar ambang adalah jenis self-healing kontemporer paling disukai yang dikembangkan dari tradisi “mengambang”, sebuah cara pemulihan kuno dari suku Sandi yang diterapkan pada orang yang mengalami apa yang disebut dengan “lelah”, yaitu kondisi yang disebabkan oleh bekerja melampaui kapasitas, sehingga mengakibatkan penurunan performa, baik badan, hati maupun jiwa. Tradisi mengambang ini pun kemudian dikembangkan dari kekunoan menjadi kekinian oleh para terapis dengan terapi relaksasi yang disebut dengan “leleson”. Oleh sebab itu, dari jauh sekalipun, bisa terlihat kamar-kamar ambang yang memiliki dinding-dinding depan tembus pandang, memperlihatkan orang yang sedang duduk-duduk dengan berbagai posisi rileks, atau pun duduk di tepian serambi kamar menjuntaikan kaki ke air telaga. Sementara mereka yang memiliki level pergaulan sosial tinggi dan mentalitas simulatif yang disebut dengan “luluh”, yaitu kemampuan untuk mencairkan suasana hati dengan empati dan kehangatan sikap, dapat ditemukan sedang melatih raga dengan melakukan watersport, seperti snorkeling, diving, atau bahkan waterskiing tampak mengambang di permukaan air, menaiki tangga boat dengan air bercucuran dari pakaian menyelam dan tabung oksigen mereka, atau berselancar dengan ditarik oleh autopilot drone berkekuatan tenaga tinggi. Hoverboards juga merambah, tak hanya di darat, tapi juga di atas permukaan air.
Ketinggian teknologi warga kota Kumbang Api ini tidak terlepas dari ilmu luhung leluhur suku Sandi yang ketika belahan dunia lain masih mengalami zaman nirleka, mereka sudah menciptakan kode-kode alfabetik kuno yang kini dikenal secara mendunia dengan nama Aksara Sekarang. Mereka percaya, bahwa air yang dibacakan dengan kata-kata dari alfabet Sandi dapat menjadi obat untuk membersihkan jiwa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa peradaban dunia berasal dari timur, akan tetapi, mereka tidak bisa menjelaskan bagaimana cahayanya terbit dari belahan bumi tersebut.
Dari balik Gunung Purapura, matahari terbit setiap pagi melintasi telaga, hingga mencapai kota Kumbang Api dan terbenam di kota Karang Terang. Pada musim panas yang terik mentereng, permukaan air telaga di sisi timur ini memantulkan warna puncak Gunung Purapura yang subur ditumbuhi dengan bunga kuma-kuma berwarna ungu. Ladang liar bunga kuma-kuma yang putiknya menjadi saffron, rempah-rempah termahal di dunia ini, terlihat merah jika dilihat dari kejauhan, seperti coklat stroberi yang meleleh di bibir kaldera. Akan tetapi, dalam hari-hari indah, ketika langit biru cerah, warna ungu itu terpantul menjadi warna biru di atas permukaan Telaga Kembang, sehingga menjadikannya seperti permata ruby yang ditatah menghiasi batang cincin oval emas dari sapuan cahaya matahari pada awan-awan yang membayang. Sedangkan dalam hari-hari yang teduh, batangnya itu memantulkan warna platinum. Magic hours seperti itu adalah momen ditunggu-tunggu oleh warga kota Kumbang Api untuk melakukan pelesiran udara, baik dengan mengemudikan minicopter, atau meluncurkan autopilot drone mereka. Dan dengan angin berkecepatan tinggi 100 km per jam seperti hari ini, magic hour bisa terjadi kapan saja.
View Telaga Kembang yang gloomy hari ini dizoom-in pada teropong binokular Amadeo, seorang laki-laki berusia 43 tahun, ke arah jatuhnya spotlight matahari yang menyorot seperti penggaris dari celah awan. Seorang anak perempuan belia bergaun rok-payung seperti diselimuti oleh cahaya matahari itu, mengayuh kayak super-pesat dengan sampan cepat-sampai dari kaki Gunung Purapura menuju pesisir Kota Kumbang Api. Kepada Mideo, putra sulungnya, Amadeo menunjuk anak perempuan yang dalam hitungan menit, sudah melintas hampir setengah perjalanan air.
“Kamu lihat, anak perempuan di arah jam satu itu, Mido? Ini kali ketiganya dia dalam minggu ini pulang pergi memetik safron dari Gunung Apiapi,” kata Amado memanggil dengan nama kesayangan putranya sulungnya itu.
Mideo mengarahkan teropong binokular yang sama, hanya saja lebih kecil, ke arah yang disebutkan Amadeo. Mideo menggeser fokus obyek teropongnya sedikit ke kanan.
Point of view Mideo: Anak perempuan itu menepikan kanonya ke pesisir.
“Gimana Papah tahu dia pergi memetik safron ke sana?”
“Dari penampilannya, dia itu seorang penyihir. Hanya safron yang dicari oleh para penyihir ke Gunung Apiapi untuk pakan kumbang api.”
“Kita selalu minum teh safron melati, Mido paling suka kalau nambahin madu api ke teh safron melati karena rasanya jadi kayak minum parfum. Tapi apa khasiat safron yang dibutuhkan untuk kumbang api? Karena, pakan kumbang api, kan cabe rawit?”