Aku rindu hangatnya kasih mereka.
Aku rindu peluk mereka.
Aku rindu bersama mereka.
Papa mama, kami rindu kalian
Meski tinggal satu atap kami merasa kehilangan.
~~Ainur~Airani~~
###
“RANI.”
Teriak seorang wanita dewasa ketika seorang gadis berambut panjang keluar dari mobil diikuti oleh seorang pria paruh baya berkaca mata. Senyum gadis itu mengembang ketika melihat seorang wanita dewasa berdaster panjang motif bunga khas emak-emak berdiri di ambang pintu.
“Mama,” pekik Rani ketika melihat wanita yang melahirkannya.
Rani berlari memeluk sang ibu, mengabaikan ayahnya yang kesusahan mengeluarkan barang dari bagasi mobil.
“Rani kangen mama,” kata Rani manja. Gadis itu memeluk erat ibunya yang sudah lama tidak berjumpa.
“Mama juga kangen sekali sama Rani. Mulai hari ini kita akan tinggal bersama,” ujar Ningsih menangkup kedua pipi Rani dengan lembut. “Apa kamu senang?”
Rani mengangguk dan kembali memeluk sang ibu. Rani tidak tahu apa yang merasuki Aji sehingga memutuskan untuk pulang lebih cepat. Biasanya sang ayah lebih mengutamakan pekerjaannya dari pada keluarga. Selama di Jakarta Rani lebih banyak menghabiskan waktu bermain bersama teman dan membaca novel yang sering ia beli sepulang sekolah. Tentu untuk mengusir kejenuhannya selama berada di rumah kontrakan. Akhirnya segala doa Rani terwujud. Gadis itu bisa kembali berkumpul dengan kakak dan ibunya.
“Papa tidak ada yang peluk nih?” ujar Aji yang sejak tadi merasa diabaikan. Dua buah koper besar dan beberapa dus kecil diletakkannya di lantai teras.
“Kangen-kangenan sama papa entar saja. Mama mau sama Rani,” sahut Ningsih, menggiring putri cantiknya masuk ke dalam rumah.
Harum semerbak tercium dari hidung mungil Rani. Aroma yang sudah lima tahun ini tidak pernah diciumnya. Beda dengan dulu, kali ini baunya lebih menyengat. Hingga membuatnya harus bernapas dengan mulut.
Mungkin ibunya sudah menghabiskan satu botol pewangi lavender untuk mengharumkan seisi rumah. Ibunya memang berlebihan. Tidak banyak perubahan dari rumah itu, masih sama seperti saat terakhir ia tinggal. Setiap sudut masih dihiasi anggrek yang beraneka ragam jenisnya. Ningsih selalu menyukai tanaman orchidaceae untuk menghiasi rumah sederhana mereka. Tidak heran meja ruang tamu juga dipercantik dengan anggrek putih yang menjadi favorit wanita itu.
“Ma, Kak Ainur di mana?” tanya Rani sambil berbaring di atas sofa.
Ningsih meletakkan susu dan kopi yang ia buat di atas meja seraya duduk dekat sang anak
“Bentar lagi juga pulang, dia ada latihan basket. Katanya ada lomba antar sekolah,” ucap Ningsih membelai lembut rambut Rani.
Airani Wulandari Nugroho adalah kembaran dari Ainur Wulandari Nugroho. Walau wajah mereka mirip tapi kegemaran dan karakter mereka sedikit berbeda. Sejak lulus sekolah dasar mereka hidup terpisah. Rani ikut dengan ayahnya tinggal di Jakarta sedangkan Ainur tetap tinggal di Mojokerto bersama sang ibu. Kesibukan kedua orang tuanya membuat kedua anak perempuan itu mandiri dan kesepian. Sampai sekarang Rani tidak tahu apa alasan ayahnya ikut memboyong dirinya ke Jakarta.
“Ma, Kak Ainur biasanya pulang jam berapa?” tanya Rani lagi setelah meletakkan ponselnya.
Gadis itu lelah menatap benda yang membosankan itu. Walau banyak hiburan yang ia dapatkan, namun tidak membuat Rani merasa senang. Itu hanya kebahgiaan semu baginya. Rani lebih suka bicara langsung dengan orang-orang di sekitarnya. Rani ingin kehangatan seperti dulu di mana setiap akhir pekan mereka bermain bersama di taman atau sekadar masak bersama di dapur. Rani rindu dengan spaghetti rasa merica buatan Ningsih. Meski membuat perutnya mulas berhari-hari tetap saja membuat Rani rindu. Setidaknya Ningsih bisa memasak selain telor, mie instan, dan air hangat.
Ibunya sangat payah dalam memasak. Berbeda dengan Aji yang juara dalam menangani perut keroncongan. Namun sifat malasnya membuat Aji enggan memasak. Sehingga hampir setiap hari mereka harus membeli makanan di luar.
“ Kamu sudah kangen ya?” goda Ningsih, mencuil hidung Rani.
“Papa juga sudah kangen sama Ainur,” ujar Aji ikut bergabung dan menyeruput kopi yang masih mengepulkan uap panas.
Aji duduk di samping Ningsih seraya merebut remot tv yang dipegang sang istri. Walau kesal dengan ulah sang suami , Ningsih hanya bisa mengerutu ketika tayangan favoritnya digantikan dengan channel olahraga.
“Bukan kangen, Ma, tapi aku mau tidur di kamar,” ujar Airani, mendudukkan tubuhnya dari pembaringan. “Aku capek, menempuh perjalanan selama 8 jam lebih. Mau istirahat di kamar tapi dikunci,” keluh Rani sambil memeluk bantal sofa yang sempat ia pakai tidur.
“Kenapa tidak bilang dari tadi. Mama punya duplikatnya.”
Ningsih berjalan ke arah lemari kecil dekat dapur. Diambilnya sebuah kunci dari laci lemari kayu, kemudian memberikannya pada Airani.
“Terima kasih, Ma,” ujar Rani menerima kunci yang diberikan ibunya. Gadis bermata almond itu langsung berlari ke kamar sang kakak.
Rani membanting tubuhnya di atas kasur empuk. Dinginya AC membuat gadis itu nyaman dan mulai terbuai. Kantuk kembali menyerangnya. Meski beberapa kali menguap tidak juga membuat mata Rani terpejam.
Matanya menelisik setiap sudut kamar yang sudah lama ditinggalkannya. Menurut Rani itu adalah hal terpenting dari pada memejamkan mata. Foto saat dia dan Ainur SD masih terpajang rapi di sebuah lemari kaca. Beberapa piala yang sempat mereka raih di setiap perlombaan juga dalam kondisi baik.
Bahkan boneka beruang yang diberikan mamanya saat kelulusan SD pun masih dalam keadaan bagus. Ainur merawatnya dengan baik, dan Rani tahu kakaknya sangat rapi. Rani tidur menyamping agar memudahkannya melihat pemandangan di luar. Tidak lama kemudian terlihat Ainur yang dibonceng seorang pria memasuki halaman rumah. Suara decitan rem sepeda membuat Rani segera bangkit dari tidurnya. Gadis itu turun bermaksud menyambut kedatangan kakaknya. Dibukanya pintu kayu yang memperlihatkan punggung mungil seorang perempuan berambut sebahu. Perempuan yang memiliki wajah mirip dengannya. Ainur.
“Kak Nur,” ucap Rani membuat gadis yang dipanggilnya 'Kak Nur' itu menoleh.
Senyum keduanya mengembang, tanpa basa-basi lagi Rani menerjang tubuh kurus itu dan memeluknya sangat erat. Sesekali Rani melirik pria yang duduk di atas sepeda. Pria berambut sedikit panjang melewati telinga itu mengenakan pakaian basket berwarna kuning. Kulit putihnya membuat ia terlihat tampan di mata Rani. Senyum tipis tersunging di bibirnya.
Apa dia kekasih, Kak Nur? batin Rani.
“Kakak kok pulangnya sore? Gue nunggu kuncinya lama, tidak bisa tidur,” keluh Rani setelah pelukan mereka terurai.
“Eh? Jadi kamu gak kangen sama aku?” tanya Ainur
“Kangen sih Kak tapi lebih kangen sama kamarnya.”
Rani mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga Ainur. “Kak, cowok itu siapa?”
Ainur menoleh ke belakang. Gadis yang memiliki mata yang sama dengan Rani itu bahkan melupakan temannya yang masih anteng duduk di atas sepeda. Seperti anak kecil yang sedang menunggu diberi permen baru mau pulang.