Aku sangat mencintaimu
Sangat mencintai
Begitu rumitnya dunia
Hanya karena sebuah rasa cinta
***
Ini pagi pertama Rani tinggal bersama kembarannya, sejak berpisah beberapa tahun lalu membuat kedua anak kembar itu semakin kompak. Tapi tidak jarang mereka bertengkar karena hal-hal kecil yang membuat salah satu dari mereka mogok bicara. Seperti saat ini, Rani terlihat kesal dengan Ainur yang memakai celananya.
“Sorry Ran, aku salah pakai, habisnya sama sih, jadinya bingung,” ujar Ainur merasa bersalah.
“Pokoknya Kak Nur harus lepasin. Itu celana dalam aku, Kak!”
"Sudah terlanjur dipakai, kasihan kalau dilepasin."
Ainur berlari saat adiknya mengejar, perang bantal pun tidak bisa dihindari. Kamar yang semula rapi berubah seperti kapal pecah, selimut jatuh ke lantai, buku-buku berserakan dan boneka yang tercecer menjadi pemandangan tidak sedap pagi ini. Mereka seakan lupa dengan waktu yang terus berjalan.
Suara ketukan pintu pun tidak mereka hiraukan, deringan ponsel seakan menjadi musik pengiring peperangan itu. Rani dan Ainur masih belum puas melayangkan serangan. Rani dan Ainur merasa dejavu saat melakukannya.
“KAK NUR!” teriak Rani dengan rambut acak-acakan, tidak jauh beda dengan keadaan Ainur. Pakaian yang semula rapi kini dikeluarkan. Nur sadar adiknya kalau marah seperti singa kelaparan. Ia harus lari sebelum rambutnya botak atau seragamnya jadi compang-camping.
Ceklek …
Ainur terpaku ketika ia membuka pintu kamar, sosok tinggi berkaca mata berdiri tepat di depannya. Kaca mata bening itu seolah berkilau, memancarkan amarah dari sang empunya. Aura hitam menguar dari tubuh tegap itu. Ainur tersenyum kaku. Rani pun terdiam membisu melihat sosok itu.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Aji dengan nada dingin. Kedua tangannya terlipat di depan dada.
Ainur dan Rani seketika merinding. Mereka saling tatap satu sama lain. Ini situasi yang buruk untuk berbohong. Rani mendekati ayahnya, jika sudah seperti ini akan sulit untuk bernegosiasi.
“Ayah, maafkan kami,” ujar mereka kompak dengan wajah polos seperti anak TK.
“Kalian tidak tahu ini sudah jam berapa?” tanya Aji lagi.
Ainur dan Rani saling berpandangan dan menggeleng. Aji menatap ke tembok membuat mereka ikut menoleh ke dinding kamar yang tergantung sebuah jam berbentuk persegi. Mata mereka terbelalak melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.10. Mereka terlambat.
“AAAAAAA!” teriak mereka serempak.
Ainur segera berlari ke arah meja belajar, memasukkan beberapa buku dengan buru-buru. Tidak lupa Ainur mencium tangan ayahnya sebelum pergi. Rani berlari menyusul kakaknya setelah negosiasi untuk bolos ditolak mentah-mentah oleh Aji.
Ainur mengatur napas yang terengah saat melihat gerbang coklat berada di depannya. Gadis itu berlari sekuat tenaga untuk sampai di tempat itu. Keadaan sekolah sepi, gerbang pun sudah dikunci dengan rapat. Cara satu-satunya adalah dengan memanjat tembok belakang. Ainur mengendap-endap berjalan ke belakang sekolah.
Tangannya dengan kuat berpegangan pada tembok yang cukup tinggi. Ainur tersenyum saat ia berhasil memanjat tembok, namun sayang seorang guru piket berpatroli ke belakang sekolah. Ainur membalikkan badannya. Gadis itu berencana untuk turun untuk bersembunyi tapi sayang ia ketahuan.
“Hei kamu! Jangan kabur,” ujar guru piket itu berlari mendekati Ainur.
“Cepat turun!” perintahnya.
Ainur tersenyum kaku. Ia berbalik dan melopat turun dari tembok. Gadis itu membersihkan tangannya yang kotor sebelum memandang guru piket yang terkenal galak. Pak Heli namanya.
“Pagi, Pak,” sapa Ainur dengan senyum kakunya.
“Kamu mau bolos ya?” ujar pria botak itu pada Ainur. Tatapannya tajam membuat siapa pun merinding melihatnya.
“Eng-enggak kok Pak. Saya enggak bolos,” jawab Ainur jujur.
“Bohong! Kamu mau kabur lewat tembok belakang, ‘kan?”
“Benar Pak, saya tidak bohong,” ujar Ainur.
“Saya tidak percaya, sekarang juga kamu kembali ke kelas. Ini peringatan pertama untuk kamu,” tegasnya.
Gadis itu melenggang pergi setelah mendapat ceramah dari guru piket. Ia mendapatkan peringatan ringan. Ainur tersenyum setidaknya ia bebas dari hukuman. Untuk kali ini dia tidak perlu capek-capek menggosok toilet yang terkenal bau dan kotor, bahkan kecoa pun enggan melintas ke toilet.
Suasana kelas terdengar ricuh. Ainur mengintip dari jendela. Tidak seperti biasa kelasnya yang terkenal dengan siswa-siswi teladan ribut-ribut di pagi hari. Benar saja Ainur tidak melihat seorang guru duduk di meja depan.
Sungguh keberuntungan berpihak padanya, guru yang mengajar tidak ada di dalam kelas itu berarti dia bisa masuk tanpa perlu diintrogasi lagi. Ainur berdiri di depan pintu kelas yang tertutup rapat. Ia membuka pintu dengan pelan. Seketika kelas menjadi hening. Gadis itu menyembulkan kepalanya dari balik pintu, membuat seluruh kelas mendesah lega. Ainur tersenyum lebar melihat wajah kesal temannya, terutama para pria yang menahan takut setengah mati.
“Tumben kamu terlambat, Nur, bangun kesiangan?” tanya Retno teman sebangku Ainur.
“Enggak, cuma tadi ada masalah sedikit sebelum berangkat,” jawab Ainur dengan senyum.
Bahu Ainur ditepuk. Seorang pria bermata sipit duduk di atas mejanya.
“Gimana, Nur? Apa tim basket putri sudah siap?” tanya Aldi sambil main game di ponselnya.
“Kapan uji cobanya?” tanya Ainur memastikan. Aldi mengalihkan perhatiannya pada Ainur.
“Lusa. Sudah siapkan?”
“Sip. Pasukan sudah siap komandan,” sahut Ainur semangat.
“Oke, lusa kita mulai uji coba. Di tempat biasa jam empat sore.”
Ainur mengacungkan kedua jempolnya. Aldi kembali ke tempat duduk, bergabung dengan siswa lain yang asik main game online. Ainur menyenderkan tubuhnya untuk menetralkan napas yang masih ngos-ngosan. Guru hari ini berhalangan hadir dan mereka hanya diberi tugas. Betapa beruntungnya gadis itu. Tuhan memang baik.
Retno menyenggol tangan Ainur membuat gadis itu berhenti menggerakkan pulpennya.
"Kenapa?" tanya Ainur.
"Tadi pagi, Dimas nyariin kamu," kata Retno sambil memperbaiki letak kacamatanya yang sedikit merosot.