Penyintas

Keong Sawah
Chapter #1

Awali Pagi dengan Drama Singkat

***

"Di tengah reruntuhan itu, kami sadar bahwa rumah sejati terbuat dari kenangan, persahabatan dan cinta yang tak tergoyahkan. Rumah bukanlah bangunan, tapi perasaan hangat yang kita bawa dalam hati."

***

13 Januari 2035.

Di bawah sinar lembut matahari pagi yang membangunkan kota Semarang, Seorang pemuda sedang duduk santai di suatu teras. Aroma kopi yang baru diseduh mengisi udara, menembus kesunyian pagi yang damai. Ia menyesap kopi hitamnya perlahan, menikmati kehangatan pahit yang menari di lidahnya

"Pagi yang lain," gumam pemuda itu pada dirinya sendiri. Jika seseorang melihatnya lebih dekat, orang itu mungkin akan melihat lingkaran hitam terbentuk di sekitar matanya.

Pemuda itu bernama Arman Gunarto, seseorang manusia biasa dengan wajah yang lebih mudah dilupakan daripada kenangan mantan yang amerta.

Ia mengagumi pemandangan orang-orang yang lalu lalang. Jalanan kota sudah sibuk dengan para pencari uang. Ada yang berjalan tanpa tujuan seperti para penjual keliling dan ada pula yang punya tujuan seperti para budak korporat. Di sisi lain, satu demi satu pintu toko-toko mulai buka, memamerkan barang-barang murah yang mereka tawarkan.

Kota Semarang, dikenal sebagai pusat perdagangan dan industri di Jawa Tengah sejak dulu. Hal ini bukan hal yang mengherankan lagi karena kota ini telah berkembang dari sekadar desa kecil menjadi deretan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Namun dengan segala kemewahan yang dimilikinya, sebagian besar penduduk kota tidak dapat hidup dengan layak. Kemiskinan, kelaparan, dan merosotnya jenjang sosial terus menghantui mereka.

Ngomong-ngomong, di kota ini juga, Arman telah bekerja selama dua tahun di sebuah toko yang menjual komponen elektronik seperti resistor, kapasitor, dan transistor. Sebagian besar produk tersebut berasal dari Jepang dan sangat populer di kalangan penghobi yang gemar membuat proyek elektronik sendiri.

Dia bertugas sebagai admin keuangan yang juga merangkap kasir dan pengelola gudang. Pemuda itu juga sering kali diberi tambahan pekerjaan seperti : merancang strategi pemasaran, bekerja sebagai desainer, petugas kebersihan dan masih banyak lagi. Meskipun daftar panjang tugasnya tampak tak manusiawi, tempatnya bekerja tidak memiliki pilihan lain mengingat kondisi ekonomi saat ini.

Yah... bahkan jika Dinas Ketenagakerjaan mengetahui nasibnya pun, ia hanya akan menerima ucapan simpati dan mungkin diajak berfoto bersama.

Arman menutup mata, menikmati aroma minuman itu hingga tetes terakhir. Tak lama kemudian, dia membuka mata lagi karena merasakan perasaan aneh, seolah ada yang mengamatinya. Ketika menoleh, dia terkejut mendapati seseorang yang dia kenal berdiri di sampingnya,.

"Eh ... baru pulang, Bang Satria. ... kopi?" Arman mencoba memecah keheningan sambil mengangkat segelas kopinya.

Dia adalah Satria, salah satu penghuni kost paling lama. Arman tidak tahu nama lengkapnya, tetapi sering memanggilnya Bang Satria untuk menciptakan kesan akrab. Dan sebagai catatan, jangan pernah menyingkat namanya.

Yah ... sebenarnya, Arman baru berjabat tangan dengannya dua hari yang lalu.

Banyak orang beranggapan bahwa Satria adalah seorang penganut ilmu pesugihan-termasuk Arman. Walaupun mungkin penampilannya mendukung opini tersebut, tapi faktanya, dia adalah seorang programmer di salah satu perusahan operator seluler terbesar di negara ini. Dan yang paling penting, dia adalah seorang yang berbaik hati memperbolehkan Arman mengungsi sementara di kamar kosnya.

Ngomong-ngomong soal kamar kos Arman, tempat itu adalah satu-satunya tempat yang rusak akibat gempa bumi yang tiba-tiba terjadi di wilayah Kota Semarang beberapa hari sebelumnya.

Dindingnya retak dan lantainya rusak prah. Sementara itu, Pecahan-pecahan dan kaca jendela berserakan di lantai seperti senyum yang tidak rata.

Banyak barang miliknya rusak dan tidak dapat digunakan lagi. Dia telah memindahkan barang-barang yang masih layak pakai ke kamar kos Satria. Ditambah lagi, ada satu masalah-ia sudah membayar uang sewa bulan ini.

Satria saat ini mengenakan kaos merah dan celana panjang hitam. Rambut hitam panjangnya yang bergelombang dan tampak berantakan diselipkan ke belakang telinganya. Sementara itu sebuah helai uban terlihat di samar-samar terjatuh di bajunya.

"Pagi, Man," jawab Satria, suaranya serak karena seumur hidup menghisap rokok tanpa filter. "Weh, mantep tenan ya, kopinya."

"Eh kemarin bagaimana debatnya? Uang sewamu aman?" lanjutnya.

Arman mendesah, meletakkan cangkirnya yang hampir kosong. "Tidak berhasil, katanya tidak bisa dikembalikan. Kurasa aku harus menanggung biaya tambahan untuk masa mendatang atau ... yah mungkin aku akan membujuknya lagi hari ini."

Mata Satria menyipit. "Walah-walah. Kelihatannya sulit sekali ya?" katanya dengan logat jawanya yang kental. Ia kemudian menghisap rokoknya dalam-dalam, bara apinya menyala dalam cahaya redup.

Mereka berdua duduk dalam diam selama beberapa saat, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah dengungan kendaraan pagi dan kicauan burung yang sesekali terbangun.

Tiba-tibu pintu rumah ibu kos berderit terbuka, dan keluarlah si pemilik kos, Nyonya Widyawati. Para penghuni kos acap kali memanggilnya Bu Widya saat di depannya. Meskipun begitu, setiap penghuni kos memiliki panggilan unik tersendiri untuknya, sayangnya kebanyakan dari mereka memiliki konotasi negatif.

Ia adalah seorang wanita gemuk dengan baju daster rumahan, rambutnya yang kelabu disanggul rapat. Matanya menyipit karena terkena cahaya pagi. Sesaat, ketika ia melihat Arman dan Satria duduk di teras, ekspresinya berubah dari mata sayu menjadi jengkel dalam sekejap.

"Eh, itu Bu Widya ..." Suara Arman melemah saat Bu Widya mendekat, langkahnya cepat dan mantap meskipun hari masih pagi. Satria mengangguk, tatapan penuh pengertian terpancar di antara mereka.

Biasanya sebelum ceramah tentang salah satu dari sekian banyak peraturan di asrama atau permintaan pembayaran ekstra yang tak terduga Bu Widya mengeluarkan ekspresi tersebut.

"Punten, Bu," sapa Arman, berharap bisa menenangkannya sebelum ia mulai bicara.

"Kamu!" seru wanita itu. Ia menatap pemuda yang menyapanya dengan ekspresi kesal.

"Saya padahal baru salam loh, Bu. Ya Allah Gusti," jawab Arman, berusaha menjaga nada bicaranya tetap ringan. Ia tidak ingin memulai hari dengan pertengkaran, terutama sebelum cangkir kopi pertamanya benar-benar habis meskipun dalam hatinya terus mengumpat.

"Kamu tahu aturannya kan, Arman?" kata Bu Widya tegas, suaranya memecah keheningan pagi bagai pisau. "Uang yang sudah dibayarkan tidak bisa dikembalikan, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan."

Untungnya, ia berhasil menahan amarahnya hingga tergagap sebelum membuka mulut untuk protes. "Maaf..." ia berdehem. "... soal uang sewa kos ... Jenengan sudah dengar dari polisi, kan? Ini bencana alam... saya tidak bisa bertanggung jawab atas kejadian ini, Bu Widya," kata Arman.

Lihat selengkapnya