***
Arman tampak ingin mengumpat saat Nurhan terus-menerus mengganti saluran TV, seolah mencari sesuatu yang menarik di antara ratusan acara. Dia menghela napas pelan, terheran-heran dengan kebiasaan rekannya. Sementara itu, suara dari berbagai saluran bercampur menjadi keributan yang memenuhi ruangan tanpa henti.
"Masih belum menemukan saluran yang cocok?" tanyanya, berusaha menjaga kesabarannya.
Di sisi lain, Nurhan yang awalnya mengaku sedang mencari saluran berita, tampak lebih tertarik menjelajahi saluran lain. Sambil menghela napas, ia berkomentar dengan nada bosan, "Aku bosan, saluran saluran berita isinya selalu gosip! Aku Aku butuh hiburan yang berkualitas!" katanya sambil mengganti saluran secara acak.
"Eh... ini terlihat menarik..." seru Nurhan tiba-tiba dengan antusias, matanya terpaku pada layar TV. Arman pun menoleh untuk melihat apa yang membuat rekannya bersemangat.
"Badai matahari ..." judul itu terpampang di layar. Arman mengernyitkan alis, perasaan penasaran bercampur sedikit kekhawatiran menyelimutinya. Namun, sebelum sempat menyimak acara tersebut, Nurhan kembali mengganti saluran.
"Mbelgedes!" seru Arman dengan nada kesal, diikuti oleh helaan napas panjang.
Sayangnya, protes Arman harus terhenti karena bunyi bel pintu, menandakan kedatangan pelanggan pertama mereka hari itu.
Seorang anak laki-laki dengan mata lebar dan ransel yang tampak sebesar harapan orang tuanya masuk. Meskipun dia tampak kelelahan jika melihat dari bajunya yang basah karena keringat, ekspresi wajahnya menunjukkan antusiasme.
Hati Arman sedikit menghangat saat ia melihat kegembiraan dalam tatapan anak itu. Hal itu mengingatkannya pada masa mudanya dan memiliki kemewahan untuk bermimpi tanpa beban tagihan dan tanggung jawab.
"Ada yang bisa saya bantu?" Arman memanggil, suaranya bergema di toko yang kosong.
Anak laki-laki itu dengan malu-malu mendekati meja kasir, matanya mengamati sekeliling toko, mengamati berbagai macam komponen elektronik yang berwarna-warni. "Aku butuh beberapa bagian untuk proyek sekolah," katanya tergagap.
"Weh, si penemu cilik, begitu ya?" kata Arman, senyumnya mengembang. "Apa proyekmu, Dek?"
Mata anak laki-laki itu berbinar saat ia mulai menjelaskan rencananya untuk membuat robot buatan sendiri, suaranya semakin percaya diri dengan setiap kata.
Saat bocah itu menyebutkan daftar komponen, pikiran Arman melayang ke proyek-proyeknya yang telah tertunda karena kesulitan keuangannya. Ia selalu menyukai barang elektronik, hasrat yang dipicu oleh mendiang ayahnya yang biasa mengutak-atik gadget rusak dan menghidupkannya kembali.
Itulah satu-satunya hal yang membuatnya terus maju, sebuah janji diam-diam kepada dirinya sendiri untuk tidak pernah kehilangan percikan kreativitas di tengah-tengah kehidupan orang dewasa yang membosankan.
Setelah bocah itu pergi dengan sekantong penuh komponen, Nurhan mencondongkan tubuhnya ke meja kasir. "Kau tahu ..." katanya dengan nada ringan, "... kau benar-benar hebat dalam menangani anak-anak muda. Kau sepertinya harus mempertimbangkan untuk membuka kursus atau semacamnya."
"Yah, mungkin," kata Arman, suaranya terdengar jauh. Pikiran itu pernah terlintas di benaknya sebelumnya, tetapi kenyataan tentang sewa dan tagihan selalu menjadi percikan air dingin bagi jiwa wirausahanya.
Sisa pagi itu berlalu dengan cepat, penuh transaksi dan obrolan ringan. Pelanggan tetap datang dan pergi, masing-masing dengan proyek dan cerita mereka sendiri. Kadang-kadang, toko itu terasa seperti satu-satunya hal yang membuat mereka waras di dunia yang sering kali tampak berantakan. Arman sangat memahami perasaan itu.
Saat bel dari sekolah di dekat toko berbunyi, Nurhan akhirnya mematikan TV. "Eh, waktunya mulih, Man" katanya, sambil merentangkan tangannya di atas kepala.
"Heh! Matane mulah-mulih!" ujar Arman sembari tertawa kecil."
Pintu berdenting lagi, dan seorang pria paruh baya dengan wajah tegas masuk. Ia adalah Pak Sutanto, pelanggan tetap yang dikenal dengan ketelitiannya dan kemampuannya menemukan kesalahan sekecil apa pun pada komponen yang dibelinya.
"Selamat datang." Arman menyapanya dengan keceriaan yang dipaksakan, berharap hari ini akan menjadi kunjungan yang mudah.
Tuan Sutanto menjawab dengan kasar, matanya mengamati toko seolah-olah menduga akan menemukan sesuatu yang salah. "Saya butuh resistor khusus untuk proyek yang sedang saya kerjakan"
Arman mengangguk, Ia lalu menuntun pria itu ke bagian belakang toko, tempat komponen-komponen yang lebih khusus disimpan.
Saat mereka berjalan melalui lorong-lorong, Pak Sutanto mulai membuka diri, ekspresinya yang tegas berubah menjadi kegembiraan seorang penggemar yang membagikan kreasi terbarunya. Arman mendapati dirinya tertarik ke dalam percakapan, melupakan sejenak masalahnya.
Saat mereka sampai dibagian penyinpanan resistor, Pak Sutanto berhenti, tangannya melayang di atas kotak plastik kecil. "Berapa harganya?" tanyanya, suaranya menunjukkan sedikit keraguan.
"Coba saya periksa," kata Arman, meraih label harga. Matanya terbelalak saat melihatnya. Harganya lebih mahal dari yang diingatnya, mungkin akibat gangguan rantai pasokan baru-baru ini. "Harganya naik," gumamnya.
Wajah Tn. Sutanto berubah muram. Arman tahu ekspresi itu, ekspresi yang muncul saat sebuah proyek harus ditimbang dengan kenyataan pahit dompet. Ia memikirkan proyek-proyeknya yang tertunda dan sewa yang terus menumpuk.
"Hmm?" kata Arman, mengambil keputusan dalam sepersekian detik. "Biar aku periksa stok yang rusak. Mungkin kita bisa menemukan yang serupa dengan harga yang lebih baik." Mata Pak Sutanto berbinar.
Arman menghilang ke ruang belakang, mengobrak-abrik kardus berisi komponen yang sedikit rusak. Setelah beberapa menit, ia muncul dengan resistor yang sedikit lecet namun masih berfungsi dengan sempurna.
"Yang ini," katanya, meletakkannya di meja. "Sedikit rusak, tapi modelnya sama dan harganya 80% dari harga aslinya."
Ekspresi tegas Pak Sutanto berubah menjadi senyuman. "Wah ... benarkah? Terima kasih, Arman. Kau penyelamatku." Ia membayar barang itu dan meninggalkan toko.
Nurhan memperhatikan pertukaran itu, matanya terbelalak. "Apa yang baru saja terjadi?"
"Aku memberinya diskon." Arman mengangkat bahu, mencoba bersikap tenang.
"Hati-hati, Si Bos tidak akan suka hal itu," kata Nurhan, tetapi ada sedikit kekaguman dalam suaranya.
"Yah, tinggal pastikan saja dia tidak mengetahuinya, kan?" jawab Arman sambil mengedipkan mata.
Hari itu berlanjut dengan suasana yang sama, perpaduan antara rutinitas dan tindakan kebaikan kecil yang tampaknya mampu menahan kesuraman. Saat matahari sore mulai terbenam, meninggalkan bayangan panjang di seluruh toko, Nurhan mengumumkan bahwa ia akan keluar untuk membeli makanan. Arman mengangguk, suara perutnya yang keroncongan menunjukkan tanda persetujuannya.