***
Dunia di luar pintu toko layaknya lukisan yang bergerak. Orang-orang berlarian ke segala arah, wajah mereka menampakkan ketakutan dan kebingungan. Jalanan yang dulu teratur kini berubah menjadi sungai kekacauan. Ketegangan memenuhi Udara seolah-olah perasaan ketegangan itu sendiri dapat dilihat. Sementara dari arah langit, gelombang hujan meteor kini memenuhi langit dengan garis-garis api.
Di tengah situasi tersebut, terlihat seorang wanita mendekap bayi di dadanya. Ia mempercepat langkahnya di antara kerumunan warga yang melarikan diri. Wajahnya menampilkan garis-garis keputusasaan sementara gumpalan debu memenuhi pakaiannya.
Bayinya menangis, tetapi lambat laun suaranya semakin mengecil seiring dengan bertambahnya ketakutan yang muncul dari kebisingan di sekitarnya.
"Cup, cup, Nak ... jangan khawatir, Sayang" bisik wanita itu kepada si buah hatinya. Mata mulai berair serta kakinya lemas, "Kita akan segera menemukan tempat yang aman ya, Sayang."
Beberapa orang menyenggolnya dari belakang, membuatnya sedikit terhuyung. Dia berusaha mempererat pelukan agar terlindungi dari kerumunan yang semakin tak terkendali. Sesaat, wanita itu merasa ingin berteriak, tetapi ia mengurungkannya karena itu akan memperlambatnya. Ketakutan merayap dalam pikirannya saat ia memalingkan wajahnya ke arah cakrawala.
Naas, ketika kepanikan semakin memuncak, seseorang dari belakang menyenggolnya dengan keras, menyebabkan wanita tersebut kehilangan keseimbangan. Dia tersentak ke samping, kaki-kakinya berusaha mencari pijakan. Untungnya, sepasang tangan muncul dari kerumunan, menahan bahunya tepat saat dia hampir terjatuh seolahada campur tangan ilahi.
"Eh?" Mata si wanita itu mencari-cari si pemilik tangan itu. Yap, itu milik seorang pemuda dengan topi hitam di kepalanya, Arman.
"Jenengan ndak apa-apa, Bu?" ucap Arman.
Wanita itu berhasil mengangguk sambil mempererat pelukan kepada bayinya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti keabadian, ia akhirnya bisa mengucapkan, "Terima kasih" dengan suara bergetar.
Tak lama kemudian, wanita itu pun bergegas pergi lalu menghilang di tengah kekacauan.
"Huh! Ibu-ibu yang malang, tadi itu hampir saja!" Arman menghembuskan nafas. Samar-samar terdengar sebutan nama-nama tuhan dari berbagai sisi. Banyak diantara memohon keselamatan, tetapi ada juga yang hanya mengutuk dengan marah. Hal itu membuatnya semakin merinding.
Sementara itu, tidak ada mobil berlampu biru dan merah yang datang, serta tidak ada suara berwibawa meneriakkan perintah untuk menenangkan kepanikan. Hal ini memaksa para penghuni kota ini untuk mengandalkan diri mereka sendiri.
"Dimana mereka yang katanya telah disumpah untuk melindungi dan melayani masyarakat? Apakah mereka sudah lama melarikan diri? Apakah para bajingan sialan itu juga tidak sudi untuk muncul saat-saat seperti ini?" pikir Arman saat matanya mengamati jalanan.
"Heh! malah ngalamun, Jancuk. Di sini kau rupanya!" Suara Nurhan memotong lamunan Arman bagaikan pisau. "Cepatlah!" imbuhnya.
"Iya!" Arman mengatur napas dan bergabung kembali dengan Nurhan yang telah lebih dulu berlari di depan.
Ada beberapa titik selter atau tempat perlindungan yang Arman pikir bisa digunakan sebagai tempat berlindung dari hujan meteor, tetapi titik fokus mereka adalah stadion karena tempat itu paling luas, kuat serta bisa mereka jangkau saat ini.
Stadion memiliki struktur bangunan yang kuat dan luas menyediakan ruang yang cukup untuk menampung ribuan orang secara aman. Namun tentu saja, semakin dekat mereka ke tempat itu, kerumunan semakin padat seperti sungai manusia yang hidup.
Kedua mantan pegawai toko itu terus bergerak melalui kekacauan yang hampir tak dapat ditembus. Tubuh mereka hampir terhanyut dalam pusaran manusia yang bergerak cepat.