***
Semarang, 20 Januari 2035.
Hari-hari setelah hujan meteor itu berlalu dengan cepat. Kota ini hancur lebur, bangunan-bangunan runtuh, serta kehadiran pemerintah tidak tampak sama sekali. Masyarakat pun berinisiatif membentuk komunitas sementara, saling bertukar makanan dan perbekalan.
Arman dan Nurhan telah mendirikan kemah di samping reruntuhan toko serba ada, menggunakan rak-rak sebagai barikade terhadap penjarah. Mereka telah berhasil mengumpulkan cukup perbekalan untuk bertahan beberapa hari lagi, tetapi situasi mereka jauh dari ideal.
Suasana mendung sertadesas-desus tentang kelompok misterius yang sering terlihat di sekitar kamp mulai tersebar. Banyak orang yang berspekulasi bahwa kelompok ini kerap mencuri perbekalan, memicu kemarahan serta kegelisahan yang terus membayangi pikiran para penyintas.
Suatu pagi, saat matahari berusaha keras mengintip melalui langit yang berdebu, Arman duduk bersila di lantai tenda sempitnya, matanya tertuju pada radio kecil bertenaga baterai yang sebelumnya dia ambil. Jarinya dengan cekatan mencari siaran darurat. Tak lama, dia menemukan saluran lain, namun pesannya tetap sama: "Pemerintah telah menyatakan keadaan darurat. Semua penduduk diimbau untuk tetap berada di tempat perlindungan sampai pemberitahuan lebih lanjut."
Arman menghela napas, melepaskan aliran udara hangat dari mulutnya. Tendanya bergoyang ketika angin menerpa. Sementara itu, matanya berpindah dari radio ke pintu tenda, di mana debu halus menari dalam bayangan. Perutnya berbunyi, mengingatkannya melalui rasa nyeri akan persediaan makanan yang semakin menipis. Dia menghembus napas panjang sekali lagi, menggosok mata lelahnya dengan telapak tangan.
Kegaduhan mendadak di pintu masuk perkemahan menyadarkan Arman dari lamunannya. Dia dengan hati-hati mendekati pintu tenda lalu mengintip keluar, hanya untuk menemukan sekelompok pria sedang bertarung satu sama lain.
Pakaian mereka robek, wajah tertutup debu, serta mata mereka memancarkan keserakahan. Tak jauh dari area pertarungan, sebuah kantong plastik kecil tergeletak di tanah, isinya tumpah ruah—jatah makanan yang sangat berharga. Perut Arman bergolak, dilanda rasa lapar dan jijik.
Pertarungan semakin memanas hingga seorang pria akhirnya muncul sebagai pemenang, meraih kantung lalu pergi begitu saja, meninggalkan yang lain untuk menangisi kesialan mereka.
Arman mengenali pemenang itu, mantan pekerja konstruksi, Pras. Dia adalah orang biasa sebelumnya, seorang pekerja keras dengan reputasi jujur di kalangan komunitas lokal. Namun, keadaan telah mengubah banyak orang, mengarahkan beberapa untuk mengambil tindakan ekstrem demi bertahan hidup.
Di sisi lain, Pras memperhatikan tatapan Arman lalu mendekat dengan menyipitkan matanya, tangannya memper erat genggaman pada kantong pelastik yang ia bawa.
"Apa! Kau butuh sesuatu, bocah?" katanya dengan suara serak.
Arman mundur selangkah, mengangkat tangannya sebagai isyarat menenangkan. "Tidak, Pras, aku hanya-"
Namun, lelaki itu sudah tidak bisa berpikir jernih. Matanya sudah liar karena keinginan mendasar untuk bertahan hidup. "Pergilah!" geramnya, mendorong Arman hingga menimpa tendanya.
Arman terhuyung-huyung, debu dari lantai beterbangan di sekelilingnya. Pras berdiri menjulang di atasnya, tangannya terkepal, kantong berisi makanan curian digenggam erat di dadanya seperti harta karun.
Arman menatap punggung Pras yang menjauh, perasaan campur aduk antara marah dan iba menggelayut dalam pikirannya. Ketidakberdayaan mendorongnya untuk tetap diam, meski suara hatinya menyuarakan ketidakadilan yang terjadi.
Setelah Pras menghilang dari pandangan, Arman kembali menenangkan nafasnya lalu merapikan tendanya yang hampir roboh.
"Huh! " Arman memeriksa barang-barangnya, mengeluarkan beberapa baterai setengah terisi serta pengisi daya surya yang ia dapatkan dari hasil mengais di reruntuhan toko. Benda-benda itu menjadi harta karun setelah kejadian tersebut, memungkinkannya menjaga radio serta senter agar tetap menyala.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat dan semakin keras seolah olah seseorang mendekati tendanya. Arman langsung waspada, mengingat kejadian tempo hari yang membuat mereka kehilangan makanan berharga mereka. Tangannya menggenggam kayu, siap memukul jika perlu.
Benar saja, tutup tenda itu terbuka, tetapi ternyata wajah Nurhan yang muncul, matanya terbelalak karena terkejut. "Arman, kamu baik-baik saja?
"Hampir saja aku memukulmu, Dasar Bodoh" Arman menghela nafas.
Nurhan melangkah masuk, matanya mengamati kekacauan itu. "Apa yang terjadi?"
"Hanya sedikit perselisihan," kata Arman, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. "Di luar sana keadaan makin buruk."
Nurhan mengangguk serius, namun kemudian ia tersadar seolah teringat sesuatu "Hei, ada kabar truk bantuan akan tiba hari ini."
"Benarkah? Itu berita bagus, kan?" Mata Arman bersinar, harapan berpendar di dalam dadanya seperti cahaya lilin di tengah kegelapan.
"Itu bukan hanya sekadar bagus," kata Nurhan, dengan nada gembira dalam suaranya, "itu adalah hal terbaik yang pernah kita dengar selama berhari-hari!"
"Tapi, bagaimana kau bisa tahu?."
Nurhan menyerahkan selembar kertas kusut. "Aku menemukannya dalam perjalanan pulang dari tempat penampungan air"
Arman mengambilnya dengan tangan gemetar, merapikan kerutannya. Brosur itu dibuat dengan kasar, dengan teks tebal dan peta kota yang digambar dengan tergesa-gesa. Itu menyebutkan titik bantuan itu diberikan.
Kata-kata itu kabur di depan matanya saat ia membacanya berulang kali, berusaha memastikan bahwa informasi itu benar.
"Apakah kita yakin bisa menuju ke sana?" gumam Arman. "Jaraknya jauh dan itu juga berada di pusat kota."
"Yah ..." Nurhan menghembuskan nafas. "... itu satu-satunya peluang kita. Jika kita berangkat sekarang, mungkin kita bisa mendahului yang lain."
"Berarti, kita berkemas sekarang" kata Arman, suaranya tegas.
Mereka mengumpulkan perbekalan mereka yang sedikit kemudian meninggalkan tenda, melangkah keluar ke tanah kosong berdebu yang telah menjadi tempat perkemahan mereka.
Kota itu sekarang seperti labirin. Bangunan-bangunan miring dengan jendelanya seperti gigi yang patah di dalam mulut monster raksasa. Sementara itu, jalan-jalannya dipenuhi mobil-mobil yang ditinggalkan serta hancur seperti mainan buangan.
Mereka bergerak cepat, bersembunyi di bayang-bayang yang mereka temukan, menghindari kerumunan orang-orang putus asa yang telah mendengar rumor serupa. Pikiran Arman berkelana, merencanakan rute cadangan.
Saat kedua pemuda itu semakin mendekati pusat kota, kehancuran semakin parah. Meteorit telah meninggalkan lubang menganga di tempat bangunan pernah berdiri, selain itu bau terbakar memenuhi hidung mereka. Mereka bisa mendengar tembakan dari jauh, pengingat suram bahwa tidak semua orang memiliki niat damai seperti mereka.
"Tundukkan kepalamu" bisik Nurhan kepada Arman.
Mereka melintasi reruntuhan, menghindari jalan utama di mana bahaya paling terlihat. Matahari mulai semakin condong ke arah tenggelamnya, pertanda bahwa waktu malam akan segera datang.
Tiba-tiba, tanah bergetar di bawah mereka. "Ya Allah, ada gempa lagi!" Arman berteriak di atas gemuruh tanah.
Bangunan-bangunan di sekitar mereka berderit, gumpalan debu mengepul dari celah-celah. Mereka terhuyung-huyung, berusaha mempertahankan pijakan saat getaran semakin kuat. Awan debu menyelimuti mereka, membuat sulit bernapas atau melihat. Mereka batuk dan tersedak.
Namun, Setelah beberapa detik singkat, gempa mereda.
"Fiuh!" Arman menarik nafas dalam-dalam lalu menatap Nurhan yang juga sama leganya.
"Mengapa sering gempa akhir-akhir ini?" Nurhan terbatuk sambil mengusap debu dari matanya.