***
Malam tanpa polusi adalah malam yang begitu menawan. Bintang-bintang bersinar seperti berlian yang tersebar di langit beludru, menciptakan kontras yang menakjubkan dengan kesunyian kota di bawahnya. Arman duduk di tenda darurat mereka, bersandar pada dinding logam dingin yang dulunya adalah mesin penjual otomatis. Ia memejamkan matanya, berusaha mengabaikan denyut nyeri dari tulang rusuk yang memar dan luka di lengannya akibat pertarungan sore itu.
Pemuda itu pun menghela napas panjang sambil mengarahkan pandangannya ke langit. Walaupun tampak indah, ada sesuatu yang ganjil dengan bulan malam ini. Bulan terlihat lebih besar dari biasanya, sinar peraknya kontras dengan kegelapan di sekitarnya. Malam itu bisa terasa damai, jika saja mereka bisa mengabaikan suara teriakan yang datang dari kegelapan.
Tenda itu kecil, tetapi menjadi tempat untuk beristirahat dan merencanakan langkah mereka berikutnya. Perbekalan dari paket bantuan adalah anugerah, dengan makanan dan air yang memberikan sedikit kenyamanan bagi perut mereka yang kosong.
Mereka berhasil melarikan diri dari alun-alun bersama seorang anak kecil serta tas ransel kakaknya, tetapi peristiwa itu masih membekas bagi mereka semua.
Nur, anak yang mereka temukan sebelumnya, tertidur lelap di atas tumpukan selimut di sudut. Beban kehilangan dan ketakutannya terlupakan sejenak dalam mimpinya. Arman tak kuasa menahan rasa sedih atas hilangnya kepolosan anak muda itu di tengah situasi ini.
Sementara itu, Nurhan, dia bilang dia sedang di luar untuk berjaga-jaga. Bayangannya terlihat saat Arman mengintip melalui celah kecil dari tenda mereka.
"Hai, Nurhan." kata Arman, ia meringis saat melangkah mendekati Nurhan. Luka di lengannya masih terasa perih, tetapi ia berhasil membersihkannya lalu membalutnya dengan persediaan dari paket bantuan.
Karena terkejut, mata Nurhan langsung terbuka lebar, tangannya meraih linggis di sampingnya.
"Hei, hei, tenang, Bung. Itu hanya aku" kata Arman pelan, mengangkat tangan yang tidak terluka sebagai tanda damai.
"Huh! Kau sudah bangun?" kata Nurhan sambil menguap, "Kupikir aku harus menyiapkan kuburan untukmu besok pagi."
"Yah... itu sangat disayangkan" ujar Arman.
Nurhan tertawa kecil.
"Apa yang lucu?" tanya Arman, mengangkat alisnya.
Nurhan bersandar pada bebatuan yang menjulang di sampingnya sambil mengamati bangunan yang runtuh serta jalanan yang sepi. Memar dan luka-luka di tubuhnya menjadi saksi bisu dari kejadian hari itu, meskipun tidak seburuk yang dialami Arman. Yah... sepertinya tokoh utama kita buruk dalam perkelahian.
"Hanya ... memikirkan ekspresi wajah mu saat para preman itu memukulmu."
"Oh?" kata Arman, tersenyum kecil meskipun merasakan sakit.