Penyintas

Keong Sawah
Chapter #7

Perangkat Ini Terkunci

***

Arunika muncul di balik cakrawala, memancarkan bayang-bayang panjang di atas bentala yang sunyi. Kukila terbang dengan anggun, melayang-layang memenuhi jumantara. Suasana pagi yang adiwarna dan jenjam ini seolah mengundang kita untuk berhenti sejenak dan menikmati momen-momen kecil dalam kehidupan. Meskipun saat ini, kehidupan yang tenang merupakan suatu aksa, mereka yang tak pernah menyerah atas kehidupannya saat ini adalah pejuang yang sesungguhnya.

Nur merasakan kehangatan menyentuh wajahnya saat bangkit dari matras, sejenak menghalau beban kesedihan dan ketakutan yang membayangi hari sebelumnya. Ia membuka resleting tenda dan melangkah keluar, pandangannya langsung tertuju pada Arman dan Nurhan yang meringkuk di sekitar bekas api unggun kecil. Keduanya menatap sesuatu dengan penuh perhatian.

"Punten, Bang? jenengan lagi apa pagi-pagi begini?" tanyanya, suaranya masih serak karena mengantuk. "Eh?! Wajahe jenengan kenopo eh???"

Arman menarik napas dalam-dalam dan menggosok matanya, berusaha menghilangkan kabut kelelahan. "Kami menemukan catatan dari tas ransel kakakmu" katanya lembut. "Apakah itu tulisan kakakmu? Ngomong-ngomong, Nurhan mengira peta di sana itu penting jadi kami mencoba mempelajarinya."

Lembaran kertas penuh coretan niskla itu terhampar di atas selembar karton. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam menelusurinya, mata mereka tegang dalam remang cahaya lilin, berusaha menggali informasi berharga dari permukaannya yang lusuh. Kertas itu, ternoda darah dan kusut.

"Peta? Oh, kertas itu ... " Nur mencoba mengingat-ingat sambil menggaruk kepalanya. "Itu kertas biasa, Aku dan kakakku menggunakannya sebagai alas tidur."

Mata Arman serta kepala Nurhan terangkat seketika mendengar kata-kata Nur, sebuah keheningan mencekam terjadi setelahnya.

"Tunggu, apa?" Suara Nurhan serak karena terjaga sepanjang malam. "Kamu menggunakan kertas itu sebagai alas?"

Nur mengangguk dengan ​wajah polos. "Yah, itu barang dari rumah kami."

Arman tertawa mendengar jawaban itu, tetapi setelah beberapa saat, tawanya mendadak terhenti. Tangannya terangkat ke kepala, seolah-olah berusaha menahan pikirannya agar tidak meluap. Tak lama kemudian, tubuhnya ambruk.

"Eh? Ada apa?" tanya Nur.

Di sisi lain, suara Nurhan semakin lemah, dan matanya mulai sayu. Jelas sekali kurang tidur dan stres akhirnya menyusulnya.

"Eh? apa yang terjadi?!" Suara Nur semakin keras.

Nurhan menoleh, menatap peta dengan campuran kekecewaan. "Yah, kita bisa mencoba mencari komputer untuk memeriksa benda itu nanti."

Mereka berdua merangkak kembali ke tenda, lilin kini menjadi genangan lilin di lantai. Nurhan dan Arman berbaring, tubuh mereka sakit akibat perkelahian dan kurang tidur. Sementara itu, melihat mereka berdua dengan kebingungan, sebuah pertanyaan muncul dari pikirannya. Apakah mengikuti mereka adalah keputusan yang tepat?

Saat mereka mulai tertidur, Arman tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa flashdisk yang mereka temukan itu sangat mungkin menyimpan kunci sesuatu yang penting. Jadi, dia mencatat dalam benaknya untuk memprioritaskan mencari komputer yang berfungsi secepat mungkin.

Hari-hari berikutnya berlalu dalam usaha keras mencari makanan dan menghindari masalah.

Kekacauan di kota semakin menjadi-jadi, sementara kehadiran pemerintah jarang dirasakan. Beberapa​ tentara yang mereka temui tampak kewalahan dan sering kali bersikap bermusuhan. Hukum yang berlaku hanyalah hukum rimba, memaksa siapa yang kuat akan merebut kekuasaan dan menang.

​Mereka bertemu lebih banyak penyintas; beberapa bersikap ramah, sementara yang lain bermusuhan. Rumor tentang zona aman dan bantuan pemerintah terdengar di mana-mana, meskipun mereka belum menemukannya.

Flashdisk​ tersebut masih menjadi misteri, tetapi mereka menjaganya dengan erat. Mereka ​merasa bahwa benda itu adalah jawaban dari sebuah misteri serta jalan keluar dari bencana ini.

Yah... meskipun itu hanya asumsi belaka, tapi siapa tahu?

Suatu malam, saat mereka duduk di luar tempat perlindungan darurat, berbagi satu kaleng makanan yang ditemukan di toko serba ada yang ditinggalkan, Arman menangkap gerakan di kejauhan. Jantungnya berdegup kencang ketika dia mengenali sosok drone yang melayang di atas puing-puing bangunan. Wujudnya istimewa-ramping, hitam, dan nyaris senyap-berbeda dari apa pun yang pernah mereka lihat sebelumnya.

"Apa itu?" bisik Nur, matanya terbelalak ketakutan.

Arman menyipitkan mata. "Entahlah" gumamnya.

Drone itu melayang sejenak sebelum melesat pergi, menghilang ke langit malam. Mereka menatap ke arahnya, makanan mereka terlupakan sejenak.

"Mungkin seseorang menemukan mainan baru" kata Nurhan.

Keesokan paginya, Trio itu berkemas, suara langkah kaki mereka bergema di koridor mal yang ditinggalkan, makanan mulai menipis mereka mulai melakukan penghematan serius.

"Universitas" kata Arman. "Mereka pasti punya komputer di laboratoriumnya​."

"Tapi apakah benda itu masih berfungsi?" kata Nurhan.

"Entahlah, kita tidak akan tahu sampai kita sampai di sana," kata Arman masih ragu-ragu. "Jika ada kesempatan, bukankah kita harus mengambilnya."

Nurhan tertawa ringan, "Baiklah pimpin jalan, Tuan Petah Lidah"

Universitas itu berada di sisi lain kota, tetapi itu risiko yang harus mereka ambil. Mereka berangkat saat fajar, menghindari jalan utama, tetap di gang-gang dan jalan kecil. Perjalanan itu penuh bahaya, tetapi janji akan jawaban mendorong mereka maju.

Ketiganya bergerak cepat, bersembunyi di tempat yang gelap sejauh yang mereka bisa, mata mereka terus mengamati tanda-tanda bahaya.

"Universitas Semarang, Heh" Arman membaca tanda yang setengah. Universitas yang dulu ramai itu kini terhampar di hadapan mereka, bayang-bayang kejayaannya di masa lalu.

Gerbang-gerbangnya, yang bengkok dan rusak, memungkinkan pandangan sekilas ke halaman yang luas dan penuh sampah tempat tenda-tenda didirikan dengan tergesa-gesa, menciptakan kamp darurat. Para penyintas berdesakan di sekitar, mata mereka melirik dengan curiga saat ketiganya mendekat.

Udara terasa penuh ketegangan, bisikan-bisikan penghuni kamp semakin keras saat mereka mendekat. Nurhan mencengkeram linggisnya erat-erat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Heh, linggis mu, Han. mudunke" gumam Arman.

Lalu, tak lama kemudian, keheningan melanda. Percakapan para penyintas mereda. Tatapan curiga mengikuti mereka saat mereka lewat.

Arman memimpin, matanya mengamati lautan tenda.

Lihat selengkapnya