Di tengah kekacauan pascahujan meteor ini, seragam militer bisa berarti banyak hal, dan tidak semuanya baik. "Bawa dia ke tenda medis utama," perintah Suhadi tegas, namun suaranya sedikit merendah agar tidak menarik perhatian seisi tenda komando. "Pastikan dia aman, dan jangan biarkan siapa pun mendekat. Aku akan segera ke sana."
Tanpa menunggu balasan atau penjelasan lebih lanjut, Pak Suhadi segera bangkit dari duduknya. Matanya sempat melirik ke layar laptop yang masih menampilkan surel mengerikan tentang bulan yang mendekat. Sebuah kerutan muncul di dahinya. Informasi ini jelas menggoncang, namun instingnya sebagai pemimpin komunitas yang sedang menghadapi ancaman langsung mengambil alih. Dengan langkah cepat dan ekspresi serius, ia melangkah keluar dari tenda komando, meninggalkan Arman, Nurhan, dan Nur yang masih terpaku di depan laptop.
Arman, Nurhan, dan Nur saling pandang, bingung dengan kepergian mendadak Pak Suhadi. Suasana di tenda komando terasa lebih berat dari sebelumnya. Informasi tentang bulan yang akan hancur menghujani bumi dalam setahun, ditambah ancaman kelompok Burung Bangkai, sudah cukup membuat kepala mereka pusing.
Sementara itu mata Nurhan bergerak bolak-balik antara layar laptop yang menampilkan surel peringatan dan wajah polos Nur. "Jadi... Roche Limit itu..." ia menggumamkan kembali, mencoba memahami. "Itu di mana tarikan gravitasi bumi lebih kuat dari gravitasi bulan itu sendiri... dan bulan akan hancur... lalu puing-puingnya akan menghujani kita?"
Nur mendongak, menatap Nurhan dengan mata besarnya. "Itu yang aku lihat di salah satu saluran YouTube beberapa waktu lalu. Aku suka menonton video-video ilmiah aneh begitu."
"Sek, Nang," katanya, suaranya dipenuhi rasa heran yang tulus. "Tadi itu kamu jelasin soal gravitasi, Roche Limit, terus saluran YouTube... Cah saiki pinter-pinter, ya? Eh apa jangan-jangan kamu ini sebenarnya profesor yang berubah jadi bocah?"
Nur mendongak, menatap Nurhan dengan matanya yang polos. Arman hanya menghela napas lalu menjitak kepala Nurhan, meskipun dalam hati ia juga sedikit terkejut. "Iya, kayak komik detektif yang nggak tamat-tamat itu?."
Nur mengusap hidungnya, sedikit gelisah. "Aku... aku banyak belajar dari kakakku, Bang," jawabnya lirih. "Dia... dia sering bercerita tentang hal-hal aneh. Tentang alam semesta, teknologi, dan... teori-teori konspirasi. Dia bilang itu penting untuk tahu kebenaran."
Arman dan Nurhan saling pandang. Kata "teori-teori konspirasi" itu menggelitik, terutama setelah mereka melihat isi flashdisk yang memang berbau konspirasi.
"Jadi, apakah kakakmu tahu kalau kamu itu memang suka hal-hal begitu?" tanya Nurhan lagi, rasa penasarannya semakin besar.
Nur mengangguk. "Yah. aku punya banyak buku. Aku juga sering eksperimen keren, eh, atau aneh?" Suara Nur sedikit bergetar saat kakaknya disebut.
Arman, yang melihat kesedihan di mata Nur, menepuk pundaknya lembut. "Kakakmu pasti bangga sama kamu, Nur. Kamu cerdas. Tapi lain kali, kalau ada yang minta kamu jelasin Roche Limit lagi, minta bayaran, ya? Lumayan buat jajan nasi uduk."
Nurhan masih menatap Nur. "Sama-sama gorengannya jangan lupa." Ia berusaha mencairkan suasana dengan candaan.
Tiba-tiba, mata Nur teralih ke layar laptop. "Eh, Abang... itu apa?"
Arman dan Nurhan mengikuti arah pandang Nur. Di layar, di bawah surel-surel peringatan tentang bulan, kini terlihat sebuah folder baru yang tidak mereka sadari sebelumnya. Sebuah folder yang tersembunyi, dengan nama samar: 'Project Ex--'.
"XXX?! apa lagi nih?" gumam Nurhan, rasa penasarannya kembali membuncah. "Jangan-jangan isinya video por... aduh!" Nurhan kembali mengaduh karena jitakan dari Arman.
"Exodus" kata Arman, tangannya gemetar saat mengarahkan kursor ke folder itu. "Kenapa tadi tidak terlihat?"
."Huh… 'hal penting itu selalu disembunyikan di balik hal yang biasa'." Imbuhnya.
Arman mengklik folder 'Project Exodus'. Sebuah file dokumen terbuka. Judulnya: 'Rencana Evakuasi Khusus: Fasilitas Bawah Tanah ALPHA-7'. Tanggalnya beberapa bulan sebelum hujan meteor pertama.