***
Suhadi melangkah cepat keluar dari tenda medis, pandangannya menyapu sekeliling kamp yang mulai dilanda kepanikan. Hanya dalam waktu seminggu sejak hujan meteor melanda, kondisi manusia sudah jatuh sejauh ini. Dulu, ia bangga menjadi Ketua RT, membantu warganya dalam berbagai hal kecil.
Kini, ia harus memimpin pertahanan sebuah komunitas dari orang-orang yang kehilangan kemanusiaannya. Betapa cepatnya peradaban runtuh, betapa mudahnya hukum rimba mengambil alih. Para penjarah, pengkhianat, dan kini kelompok bersenjata yang terorganisir. Dunia sudah berubah menjadi arena pertarungan untuk bertahan hidup.
Ia melihat sekeliling kamp. Tidak ada barikade yang layak, hanya tumpukan puing dan tenda-tenda yang didirikan seadanya. Orang-orang yang ia sebut 'petugas patroli' hanyalah relawan yang sebagian besar bersenjatakan tongkat atau apa pun yang mereka temukan. Mereka adalah warga biasa, bukan tentara terlatih. Sistem komando yang ia coba terapkan masih sangat minim, lebih mirip koordinasi antar warga daripada pertahanan militer. Jika para begundal itu benar-benar menyerbu, mereka tidak akan punya banyak perlawanan.
"K-kumpulkan semua orang! Sembunyi! Cepat! Cari tempat berlindung!" teriak Suhadi, suaranya sedikit bergetar karena keputusasaan yang tiba-tiba melandanya. Ia tidak bisa memerintahkan mereka untuk melawan kelompok bersenjata lengkap. Itu akan menjadi bunuh diri massal.
Suara raungan motor semakin dekat, disusul dengan derap langkah kaki. Sekelompok konvoi motor muncul dari balik reruntuhan gedung, debu mengepul di belakang mereka. Mereka adalah kelompok kriminal bersenjata, terlihat dari kendaraan mereka yang dipenuhi barang jarahan dan sikap arogan mereka. Yang membuat Suhadi terperangah adalah senjata yang mereka bawa. Bukan lagi pipa atau tongkat baseball, tapi senapan laras panjang yang berkilauan di bawah cahaya senja. Senapan-senapan itu jelas hasil penjarahan dari konvoi militer, mungkin yang baru saja disergap di Alas Roban.
"Para bedebah itu!" desis Suhadi. "Mereka bahkan tidak peduli lagi bersembunyi!"
Untungnya, konvoi motor itu tidak langsung menyerbu masuk ke dalam kamp. Mereka hanya melaju di jalanan di luar gerbang utama universitas, seolah pamer kekuatan. Namun, karena merasa berada di atas angin dengan senjata baru mereka, beberapa anggota kriminal itu mengangkat senapan mereka ke udara dan mulai menembak secara acak.
Suara tembakan memekakkan telinga, memecah kesunyian yang mencekam. Peluru-peluru menghantam dinding bangunan yang retak, menimbulkan retakan baru dan serpihan beton. Beberapa peluru bahkan mengenai tenda-tenda di pinggir kamp, menyebabkan kepanikan di antara para penyintas. Teriakan ketakutan terdengar, anak-anak menangis, dan orang-orang bersembunyi di balik apa pun yang bisa memberi perlindungan.
Setelah rentetan tembakan itu, terdengar tawa cekikikan dari mereka. Dengan suara serak dan kejam, seolah ini hanyalah permainan yang menyenangkan.
Tembakan acak dan tawa itu sudah cukup untuk meneror dan menunjukkan siapa yang memegang kendali. Ini adalah pesan. Sebuah peringatan.
Suhadi berusaha menjaga ketenangan di tengah kekacauan, mengarahkan para relawan dan warga untuk merunduk dan mencari perlindungan di balik puing-puing terdekat. Ia tahu bahwa satu tembakan balasan saja bisa memicu serangan penuh.
Konvoi motor para begundal itu melaju terus, meninggalkan jejak kekacauan dan ketakutan. Suara mesin mereka memudar di kejauhan, tetapi gema tembakan, tawa cekikikan, dan kepanikan di kamp masih terasa jelas.
Begitu suara mesin motor menghilang sepenuhnya, keheningan sejenak melanda. Namun, keheningan itu lebih menakutkan daripada suara tembakan tadi. Keheningan itu diisi oleh isak tangis anak-anak yang belum berhenti, desahan napas ketakutan dari orang dewasa yang bersembunyi, dan suara-suara kecil dari puing-puing yang berjatuhan.
Suhadi melangkah maju, kakinya gemetar. Ia menatap wajah-wajah pucat di sekelilingnya, mata-mata yang dipenuhi kengerian dan keputusasaan.
"Ada yang terluka?!" tanya Suhadi, suaranya sedikit serak, berusaha agar terdengar setegas mungkin. Ia menyapu pandangannya ke setiap tenda, mencari tanda-tanda darah atau luka baru.
Sejenak, tidak ada jawaban. Hanya isak tangis yang semakin keras, dan gumaman-gumaman ketakutan. Beberapa wanita histeris berteriak putus asa, menutupi wajah mereka dengan tangan. Pria-pria menggumamkan umpatan-umpatan yang tak jelas, meluapkan amarah dan frustrasi atas ketidakberdayaan mereka.
"Bajingan sialan!" desis seorang pria paruh baya, tangannya mengepal erat, memukul puing di dekatnya. "Dasar bedebah biadab!"
Seorang ibu muda memeluk erat bayinya, tubuhnya bergetar hebat. "Kenapa... kenapa ini harus terjadi pada kita?!" teriaknya di antara isak tangis. "Kita mau ke mana sekarang, Pak?! Kita tidak aman di sini!"
Suhadi menghela napas panjang, kepalanya terasa pusing. Ia melihat sekeliling, mencari wajah-wajah yang masih mampu berpikir jernih. Matanya tertuju pada beberapa relawan petugas patroli, termasuk petugas yang tadi melaporkan konvoi kelompok tersebut. "Cek sekeliling kamp! Pastikan tidak ada yang terluka, dan kumpulkan semua orang di area tengah. Kita perlu bicara," perintahnya, suaranya berusaha keras tetap tegas.
Warga yang panik perlahan berkumpul di area tengah kampus, saling berdesakan, mata mereka masih dipenuhi ketakutan. Beberapa anak meringkuk di pelukan orang tua mereka. Gumaman dan isak tangis mulai mereda menjadi keheningan tegang saat Suhadi tiba. Ia naik ke tumpukan puing yang lebih tinggi agar bisa terlihat oleh semua orang.
"Saudara-saudaraku sekalian," Suhadi memulai, suaranya berat, mencoba menyembunyikan getaran dalam dirinya. "Saya tahu kalian takut. Saya tahu kalian marah. Apa yang baru saja terjadi... itu tidak bisa dimaafkan."
Warga mengangguk, beberapa mengumpat pelan. Mata mereka tertuju padanya, menuntut jawaban, menuntut harapan.
Suhadi menarik napas dalam-dalam, mengambil keputusan. "Tapi dengarkan saya baik-baik. Saya baru saja mendapat informasi." Ia menoleh sekilas ke arah petugas patroli yang menatapnya penuh tanya. "Informasi ini datang dari sumber yang bisa dipercaya. Pihak militer... mereka sudah mengetahui situasi kita di sini. Mereka sedang dalam perjalanan."
Beberapa pasang mata di kerumunan itu membelalak. Bisikan-bisikan mulai terdengar. "Militer? Benarkah?" "Akhirnya ada bantuan?"
"Ya, benar," Suhadi mengangguk dengan yakin, meskipun dalam hatinya ia merasa seperti seorang pendusta. Ia tidak ingin berbohong, tapi ia melihat keputusasaan di mata mereka. Mereka butuh pegangan.
"Mereka akan datang untuk menjaga ketertiban. Mereka akan membantu kita membersihkan sisa-sisa penjarah itu. Jadi, kita harus tetap tenang. Jangan panik. Tetap di area ini, dan jangan coba-coba keluar dari kampus tanpa izin."