Penyintas

Keong Sawah
Chapter #10

Invasi Kamp

***

Teriakan panik dan derap langkah kaki menghantam kamp universitas. Bayangan-bayangan motor kini terlihat jelas di luar gerbang, siluet pria-pria bersenjata berkelebatan. Tawa cekikikan yang kejam, yang sudah mereka dengar tadi siang, kini terdengar memekakkan telinga. Mereka datang.

Sekelompok pengendara motor melaju masuk ke area kamp dengan santainya, seolah kampus itu arena bermain mereka. Beberapa, tanpa ragu, mengangkat senapan laras panjang pameran mereka, menembaki orang-orang panik berlarian. Suara tembakan menyalak, diikuti jerit kesakitan dan tubuh ambruk.

Tidak jauh dari gerbang kampus, di balik tumpukan puing yang tersembunyi, Berdiri seorang pria yang menjadi pemimpin kelompok kriminal bersenjata, menyeringai puas. Tawa cekikikan yang tadi ia dan anak buahnya lontarkan saat melintas kini telah pudar, digantikan oleh ekspresi lapar.

"Hahaha, lihat itu." Pria itu tertawa terbahak-bahak, suaranya kasar dan menggema. "Kamp seperti kandang ayam!. Mereka pikir bisa bertahan dengan merengek dan bersembunyi?"

Beberapa anak buahnya ikut tertawa, mengacungkan senapan mereka. "Mudah sekali, Bos. Mau langsung masuk?"

Pria itu menggeleng, seringainya melebar. "Jangan terburu-buru. Biarkan mereka ketakutan dulu. Aku suka melihat mereka bersembunyi seperti tikus. Lagipula, ada banyak barang berharga di sana, bukan cuma di dalam tenda-tenda itu." Ia meludah ke tanah. " Tapi, sebelum itu..." Pria itu menyeringai keji, matanya menatap ke arah kampus dengan nafsu. "Beberapa orang perlu sedikit 'belanja'."

Ia menunjuk ke beberapa anak buahnya. "Kalian, geledah toko-toko di sekitar sini. Ambil apa pun yang berharga. Makanan, obat-obatan, apa saja! Dan jangan lupakan yang di dalam sana," Pria itu mengedipkan mata, pandangannya mengarah ke dalam area kampus. "Kalau kalian menemukan sesuatu yang 'berharga' dan mencurigakan, bawa padaku. Jangan bunuh semuanya. Kita butuh mereka hidup untuk 'hiburan' nanti." Perintahnya diakhiri dengan tawa yang lebih keras.

Anak buahnya mengangguk patuh, segera menyebar ke arah bangunan-bangunan yang rusak di sekitar universitas, dan beberapa lagi melaju perlahan mendekati area gerbang kampus, seolah-olah mengintai, tetapi dengan niat yang jauh lebih gelap.

***

Di sisi lain, di dalam ruang kelas yang kini berfungsi sebagai ruang rapat darurat, perdebatan sengit berlangsung alot. Lampu minyak tanah yang remang-remang menari di wajah-wajah yang lelah, menciptakan bayangan yang bergerak mengikuti gelombang emosi. Beberapa suara orang tua meninggi, beradu dengan seruan tokoh lain yang mulai kehilangan kesabaran.

"Fasilitas di Solo? Bulan jatuh? Omong kosong apa itu, Bajingan!" teriak seorang pria paruh baya, wajahnya keras.

"Bukti apa lagi yang kalian mau?!" suara Suhadi menyahut frustrasi.

Pak Lurah berusaha menengahi. "Tenang, tenang! Semuanya tolong tenang!”

Pertikaian terus berlanjut, suara-suara saling bertentangan memenuhi tenda. Teriakan putus asa beradu dengan tangisan histeris, diselingi umpatan dan seruan skeptis. Beberapa orang mulai saling dorong, yang tadinya bersatu dalam ketakutan kini terpecah belah oleh rasa tidak percaya dan putus asa.

Tiba-tiba, penutup tenda disibak dengan kasar. Seorang relawan patroli, dengan napas terengah-engah dan wajah pucat pasi, memaksa masuk ke dalam tenda, menabrak beberapa orang di jalan.

"Kamp kita... kamp kita diserang!" seru relawan itu, suaranya pecah, hampir tak terdengar.

"Mereka... mereka sudah mas—!"

Belum sempat relawan itu menyelesaikan laporannya, sebuah lubang kecil mendadak muncul di dahinya. Matanya membelalak kaget, ekspresinya membeku dalam keterkejutan dan horor. Sebuah tetesan darah menodai kain tenda yang remang-remang. Tubuhnya limbung ke belakang, jatuh tersungkur ke lantai, menciptakan suara gedebuk yang mematikan.

Seketika, ruangan hening. Debat yang sengit mendadak terhenti, tergantikan oleh ketegangan yang mencekik. Orang-orang di dalam tenda terpaku, menatap ngeri pada tubuh yang tergeletak tak bernyawa. Bau mesiu yang menyengat tiba-tiba menyeruak, bercampur dengan bau darah segar. Keheningan itu hanya berlangsung sepersekian detik, namun terasa seperti keabadian.

"Nah, ini dia sarang tikus-tikus kecil."

Tiba-tiba seseorang melangkah masuk, seorang pria bertubuh besar dan kekar, dengan bahu lebar yang menekan kain seragam militer curiannya. Wajahnya dipenuhi bekas luka, menambah kesan sangar pada seringai lebarnya yang memperlihatkan gigi yang tidak rapi. Dia adalah Bajus, Pemimpin yang menginvasi kamp ini.

Senapan laras panjang mereka diacungkan dan seringai kejam terukir di wajah-wajah yang keras. Mata mereka menyorot tajam ke sekeliling, menikmati ketakutan yang terpancar dari setiap wajah.

Pak Lurah, dengan wajah pucat pasi, melangkah maju dari kerumunan yang kini meringkuk ketakutan. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, sebagai isyarat menyerah. "Kami... kami menyerah!" serunya, suaranya gemetar namun berusaha keras terdengar jelas. "Jangan sakiti kami! Ambil saja apa yang kalian mau! Kami tidak akan melawan!"

Bajus menatap Pak Lurah, sorot matanya dingin dan mengejek. Seringainya melebar, memperlihatkan gigi yang tidak rapi. Ia tertawa, suara tawa yang serak dan kejam, lebih mengerikan daripada suara tembakan tadi. Tawa itu menggema di ruangan yang penuh ketakutan.

"Kami... kami tahu tentang tempat aman! Ada... ada perlindungan yang dibangun... kami tidak tahu di mana persisnya.”

"Tidak tahu dimana persisnya, katamu?" Bajus mencemooh, sambil mengangkat senapannya. "Kau pikir ini permainan, Pak Tua?"

Bajus mencibir, senapannya masih terangkat. "Tempat aman? Perlindungan? Omong kosong!" Tawa kejamnya kembali. "Kalian bicara tentang tempat yang hanya untuk orang-orang penting, bukan untuk sampah sepertimu!"

Lihat selengkapnya