***
Jeritan panik dan deru mesin memudar di belakang mereka. Arman, Nurhan, Nur, dan Teguh terhuyung, terbatuk dalam selimut asap dan debu. Mereka telah sampai di reruntuhan bangunan, mencari jeda dari neraka yang melanda kampus.
Paru-paru mereka terasa terbakar, napas terengah-engah memecah keheningan di balik reruntuhan. Tubuh Arman, Nurhan, Nur, dan Teguh gemetar, wajah mereka pucat pasi setelah pelarian yang menegangkan.
Nur mendongak, matanya yang besar dan cerdas itu kini dipenuhi ketakutan. "Orang-orang itu... Pak Suhadi... mereka semua..." suaranya pecah.
Hati Arman terasa perih. Ia hanya bisa menepuk pundak anak itu.
Hanya suara napas berat dan detak jantung berpacu yang terdengar di antara mereka, kontras dengan hiruk-pikuk kekacauan yang baru saja mereka alami di luar.
Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa menit, masing-masing tenggelam dalam pikirannya.
Arman lalu menatap ke kejauhan. Di sana, sisa raungan mesin motor para penjarah dan tawa kejam masih samar terdengar, perlahan memudar digantikan keheningan dari kamp yang porak-poranda.
Tidak ada perlawanan. Arman bertanya-tanya tentang nasib orang-orang di sana. Matanya menyapu kekacauan itu, melihat beberapa anggota geng masih berkeliaran di area tersebut, bagai hantu di antara puing-puing, menjarah apa pun yang tersisa..
"Siapa dia, Man? Bukankah dia orang dari militer yang dibawa ke tenda medis sore tadi?" Akhirnya, Nurhan memecah kesunyian
Teguh, yang tampak sama lelahnya, mengangkat tangan perlahan.
"Aku bertemu dengannya di tenda medis sebelum serangan dimulai. Namanya Teguh." Ia menoleh ke arah Teguh, lalu kembali ke Nurhan. "Dia juga penyintas. Konvoinya diserang beberapa hari yang lalu."
Teguh mengangguk, matanya yang tajam menatap lurus ke arah Nurhan. "Dan orang-orang yang menyerang kamp ini," katanya dengan suara serak, "adalah bajingan yang sama yang menyerang konvoi kami di Alas Roban. Para bedebah bertopeng gas itu.
"Burung Bangkai?" tanya Arman, mengingat sebutan yang ia dengar dari Pak Suhadi.
"Jadi kau menyebut mereka begitu?" balas Teguh, tangannya mengepal. "Aku tidak peduli apa nama mereka. Mereka membantai semua rekanku."
Tiba-tiba, Nurhan terbatuk hebat, memuntahkan darah segar ke tanah. "Kau baik-baik saja?" tanya Arman cemas, segera mendekat.
Nurhan mengusap mulutnya dengan punggung tangan. "Pernah lebih baik," geramnya, matanya masih melotot marah ke arah Teguh. "Para bedebah itu... Sialan, badanku rasanya mau copot semua."
Arman mengeluarkan perban terakhir dari paket bantuannya. Nur, setelah ragu sejenak, ikut membantu membersihkan wajah Nurhan dengan robekan kain dari bajunya, matanya sesekali melirik takut-takut ke arah Teguh.
Arman merogoh satu-satunya paket bantuan yang berhasil mereka selamatkan, mengeluarkan perban dan sebotol kecil antiseptik.