1999
AKU masih duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Baru setahun aku hidup di rimba raya durjana Ibukota. Anak desa dari ujung Sumatera ini memang sempat mengalami gegar budaya, khususnya ke warga Betawi yang entah kenapa—cenderung iri melihat warga perantauan.
Tapi aku dilahirkan untuk menjadi penakluk semua halang rintang. Bukannya menjauh, aku malah bergaul rapat dengan kawan² Betawi. Dari mereka lah aku belajar banyak kebudayaan masyarakat suburban. Dari sekian banyak pelajaran itu, tibalah aku pada sebuah fase kedua pemberontakan sebagai anak manusia.
Kecenderungan bawaan lahirku yang tak betah di rumah, alhasil teralihkan jadi anak tongkrongan. Wajar, Jakarta bagiku masih teramat asing. Saban ada waktu, kami pasti berkumpul nongkrong. Bahkan sekolah pun ogah. Kendati nilai akademikku terbilang lumayan untuk ukuran anak liar. Selalu menduduki peringkat atas di dalam kelas.
Kala itu, hampir semua jenis psikotropika sudah kucicipi. Terutama ganja. Bekal pendidikan Islam tradisional yang kudapat sejak masih di kampung, seperti memberitahu bahwa benda laknat itu hanya boleh kupakai sekadarnya. Jangan berlebihan. Ternyata keyakinanku itu berbuah manis.
Tak jauh dari markas kami berkumpul, tinggallah tiga orang wanita tuna susila. Seorang di antaranya cukup menyita perhatian kami, dan pasti para lelaki hidung belang yang lebih senang kucing²an dengan istrinya. Aku tahu itu. Bayangkan saja Mulan Jameelah dalam versi bohay. Bedanya, tokoh kita ini kurang beruntung secara nasib.
Sepengetahuanku, hanya beberapa saja dari kami yang belum pernah menikmati tubuh indahnya—termasuk aku. Secara pribadi, aku tak pernah sekali pun terpikir mengambil untung darinya. Apa pasal. Teteh asal Garut ini luarbiasa baiknya kepadaku. Aku tak tahu kenapa. Malahan ia sering menawarkan diri untuk menghiburku di kamar kontrakannya.
Namun begitulah waktu mengajari anak² manusia. Mungkin Teteh geulis itu senang mendengarku melantunkan lagu² sembari memainkan gitar, kala kami duduk nongkrong—dikala ia menerima tetamunya. Suatu ketika, malam Jumat tiba lebih syahdu. Setidaknya bagiku.
Kendati urakan, aku tetap melakoni shalat lima waktu. Usai menunaikan shalat Isya, aku pun bergegas menuju markas. Sebelum tiba di lokasi, sayup terdengar olehku suara perempuan mengaji al Quran. Merdu sekali. Setelah kutelisik, rupanya suara nan indah itu berasal dari petakan kontrakan Teteh Garut itu. Alamakjang.
Dikepung rasa penasaran, alhasil aku memberanikan diri duduk di bawah jendela—yang hanya ditutupi kawat nyamuk & gorden sekadarnya. Sambil menghisap rokok Marlboro, tekun kudengarkan ia mendaras al Quran. Waktu itu, aku sama sekali tak tahu harus bagaimana menilai perempuan yang sedang membacanya.
Tanpa kusadari, ternyata Teteh mengendus kehadiranku. Ia pun membuka pintu. Lantas disuruhnya aku masuk.
"Sini, Ren..."
Aku kelimpungan sendiri mendengar ajakannya.
"Kalem wae ih. Teteh masih pakai mukena kok. Sok atuh kalebeut. Ngopi heula," ucapnya lembut dengan logat khas perempuan Sunda.
Aku pun memberanikan diri. Lalu duduk di ambang pintu. Khawatir ada tetangga yang melintas, aku bisa bersembunyi sejenak. Padahal ya tak ada tebersit niat dalam pikiranku tuk berbuat yang bukan².