Menuju ke Barat.
Tanah yang Memendam Rahasia Besar Orang Jawadipa yang Berbahagia.
TENGAH malam itu juga aku setengah terpaksa mengikuti ajakan Liana ke rumahnya. Setengah lagi alasanku mau turut serta adalah, sebuah mobil berkelir hitam pekat nan gagah berani, yang kini telah membawa kami melesat di jalan Tol Kebon Jeruk, menuju arah kulon. Sejatinya sudah lama sekali aku mengharapkan kesempatan bisa duduk di dalam kemewahan jeep Wrangler Rubicon. Bersama sopir, yang ternyata ajudannya itulah, aku duduk sejajar di bagian depan. Sementara sang majikan, tengah sibuk menggunakan ponsel layar sentuhnya di jok belakang.
Air muka lelaki yang sejak kali pertama kulihat di Stadhuis, Jakarta Kota, dan kini duduk bersisian denganku, tak pernah berubah. Semacam ada mendung tebal yang melekat di wajahnya. Ia punya potongan rambut cepak. Perawakannya tinggi kekar. Lengannya besar. Macam perwira militer dalam penampilan sipil. Sudah sekian belas kilometer kami menempuh perjalanan, mulutnya hanya mengucapkan kata, “siap, izin, perintah!” Tak lebih. Merasa penasaran dengannya, aku pun mencoba mencari celah agar bisa berbincang santai sembari menikmati perjalanan.
“Izin, Mas. Kalau boleh tahu kita sedang menuju ke arah mana ya persisnya?”
Mendengar pertanyaanku, matanya seketika melirik ke spion yang ada di tengah. Tak mau kalah, aku pun berusaha melihat dengan ekor mata kanan. Ternyata Liana sudah terlelap. Sebuah bantal boneka panda telah membekapnya dalam mimpi. Wajahnya begitu lelah.
“Siap, menuju ke Pandeglang,” jawabnya singkat nyaris tanpa ekspresi.
“Tadi kenapa mas harus ngelirik ke belakang dulu sebelum menjawab?”
“Izin, sungkan sama ibu… Saya cuma ajudan merangkap sopir.”
“Kan sedang tidur tuh orangnya.”
“Siap, makanya saya mau jawab.”
“Jadi kalau misal Teh Lia masih melek, pertanyaan saya tadi nggak dijawab, begitu?”
“Izin, tetap saya jawab.”
Baiklah. Aku mulai gagal paham sama lelaki aneh ini. Meskipun aku yakin darinya pasti ada informasi yang bisa kugali.
“Saya Renggo, Mas. Renggo Hatusaka.”
“Siap, saya Mad Lawe. Biasa dipanggil Ukat, atawa Dulapi, Sanian, Saipan, Ganol, Nursan, Koncod, Naduding, Kojad, terkadang juga Sadega.
“Nama sebanyak itu, asli semua, Mas?”
“Asli pisan. Bisa diterawang nu diraba,” seketika keluar logat Sunda dari mulutnya.
“Atuh kalau begitu mah saya panggil mamang wae nya?”
“Sok mangga…”
“Jadi mana nama yang paling nama di antara semua itu, Mang?”
“Mungkinudin…”
“Alamakjang! Itu nama yang lain lagi?”