Penyintas Waktu

Ren Muhammad
Chapter #9

Kitab Tan Aksara

Dibalik Gunung Pulosari. Ada Misteri Menyembul dari Masa Lalu.

Kemarin yang Menjadi Hari Ini.

LIANA mengajakku ke bagian belakang rumah. Di sana terhampar sawah hingga sampai di kaki bukit. Tak jauh dari tempat kami berdiri, ada beberapa gubuk kecil yang dibangun dari bahan bambu betung. Berukuran satu kali dua meter. Berbentuk panggung. Kalangan santri biasa menyebutnya dengan kobong. Setahuku, akar katanya krobong, yang berarti membakar. Mungkin maksud Sunan Ampel waktu mendirikan Ampeldento sebagai pusat pengajaran Islam kali pertama, para santri yang hendak mendalami disiplin ilmu keislaman, terlebih dahulu harus dibakar segala keburukan dalam dirinya. Baru setelah itu ia bisa duduk sinau dengan tekun.

Di teras salah satu kobong, ada dua orang lelaki paruh baya sedang berbincang. Melihat kedatangan kami, salah seorang dari mereka segera menghampiri. Liana bergegas menemuinya. Lalu ia mengecup punggung tangan lelaki perbawa itu. Satu kecupan kecil pun mendarat di kening Liana. Mesra sekali mereka nampaknya.

“Mas, ini dia anak jalang yang Lia maksud.”

“Assalamu’alaikum, Mas. Rahayu… saya Renggo,“ ucapku sembari menyodorkan jabat tangan kanan.

“Wa’alaikumsalam… rahayu sagung dumadhi. Aku Wirabumi. Mungkin kau sudah banyak dengar cerita tentangku dari Lia ya.”

“Ah tidak juga, Mas. Kami malah ngobrol soal lain. Maaf bila mengganggu waktu senggangnya.”

“Santai saja. Eh, aku harus memanggilmu bagaimana? Namamu sulit dipecah,” tawa Wirabumi pecah seketika.

“Ren saja, Mas,” jawabku kikuk.

“Baiklah, Ren. Aku senang melihatmu ada di sini. Tak kusangka kau punya kisah hidup yang menarik, dan pernah berteman dekat dengan Lia—sebelum akhirnya waktu memisahkan kalian.”   

“Saya malah kagum sama mas Wira. Perubahan teh Lia yang sekarang saya lihat, jelas karena peran seorang lelaki hebat.”

“Kau mengada-ngada, Ren. Aku cuma orang biasa yang hidup dengan cara sederhana. Semua tindak-tandukku berada di bawah arahan guru. Aku hampir jarang sekali melakukan sesuatu tanpa isyarat darinya.”

“Termasuk menikahi si teteh?”

“Termasuk itu!”

“Kalau saya tak salah menduga, guru mas Wira adalah Abuya Syar’i. Betul begitu?”

Wirabumi menyeruput kopinya. Lantas lelaki yang tadi menemaninya duduk, berpamitan pada kami. Ia pergi dengan meninggalkan seulas senyum. Lia menyusul di belakangnya.

“Abuya itu jarang sekali berbicara. Ke kami pun, hanya sepatah dua saja kata-kata yang ia ucapkan. Selebihnya kami belajar dalam diam dan dengan tandatanda alam.”

“Maksudnya bagaimana, Mas?”

“Kalau di pesantren salaf yang lain, mereka mendaras kitab kuning sebagai bahan belajar. Kami tidak.”

“Jadi pakai apa?” tanyaku memburu.

Lihat selengkapnya