Penyu di Mandena

Laode Buzyali
Chapter #18

Cahaya Yang Dinanti

Senja di pertengahan Bulan Oktober, aku sudah kembali ke rumah dan beraktivitas seperti sedia kala, walaupun masih butuh alat bantu untuk berjalan, karena kaki dan beberapa tulang rusukku belum sembuh total. Aku kembali berutang budi pada Haura, kalau bukan karenanya, mungkin dampak dari perkelahian itu bisa jadi akan lebih buruk.

Ia mencurahkan segenap perhatian dan keterampilan yang dimiliki untuk menyembuhkan semua lukaku, baik yang terlihat maupun luka dalam. Mataku yang semula kabur, bisa ia rawat dengan telaten hingga akhirnya membaik, ia juga hafal banyak ramuan tradisional yang bermanfaat, katanya dalam beberapa kasus, tumbuhan-tumbuhan itu bisa jadi alternatif pengobatan yang mujarap. Sebelum aku keluar, ia berpesan agar tidak melakukan aktivitas yang berat-berat karena ada beberapa tulang rusuk yang masih harus dirawat.

Selama dirawat, ada satu hal penting yang terpikirkan olehku, bahwa jika suatu saat nanti aku menjadi Presiden, Haura harus menjadi Menteri Kesehatan. Aku yakin dengan kemampuan dan pengalamannya itu, ia akan mampu meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat mulai dari pusat kota hingga di daerah terpencil.

Kini aku sudah dianggap bak seorang pahlawan, namaku jadi trending topic di setiap rumah, warga semakin cinta, segan dan hormat pada diriku. Hampir setiap hari, mereka bergantian datang menjenguk, menghabiskan waktu di puskesmas, sambil bawa hasil tangkapan laut untuk kami makan bersama. Aku pikir mungkin itu cara mereka berterima kasih setelah sekian lamanya dijajah.

Akupun ikut senang melihat senyum lebar di wajah mereka satu per satu. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, sinar merahnya mulai redam ditelan gelapnya langit, angin malam berhembus, mengarahkan anak-anak untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Kini waktunya untuk memberikan kejutan lain bagi warga kampung.

Aku, Samuel dan Pace Abbas sedang berdiri menanti Yosias mengisi solar kedalam mesin diesel berukuran jumbo dengan kapasitas 5.000 Watt, mesin itu baru tiba sekitar seminggu yang lalu, dibawa oleh seorang tenaga ahli instalasi listrik dari kota. Semua itu adalah hadiah dari Pak Bupati atas prestasiku mendirikan toko kecil yang diresmikan sebulan yang lalu.

Setelah isi jergen kosong, kini Yosias mulai mengaitkan tali pada poros berbentuk bulat yang harus ditarik agar mesin itu bisa menyala, dengan segenap tenaga dan satu kali tarikan nafas, mesin itu mulai dinyalakan.

Kletek...kletek...kletek...kletek, tarikan pertama belum berhasil, mesin itu kembali diam

Kletek...kletek...kletek...kletek, tarikan kedua juga masih sama.

Yosias beristirahat sejenak, mengatur nafas, badannya sudah basah oleh keringat, ruangan itu memang sempit dan panas. Kini ia kembali mengaitkan tali itu lebih erat dan kencang, setelah mengatur nafas beberapa saat, ia coba tarik kembali dengan sekuat tenaga.

kletek, keletek, keletek, kletek, keletek, keletek, kletek, keletek, keletek, kletek, keletek, suara mesin itu semakin kencang, asap hitam mulai keluar dari cerobong yang ada di bagian atas, kami bergegas keluar ruangan mesin kecil berukuran 3 x 4 meter persegi itu mengindari suara bising dan asap hitam yang sudah mengepul.

Samuel berlari menuju jalan setepak, lalu masuk dalam rumahnya, memadamkan api lentera, kemudian beralih menekan tombol sakelar berwarna putih, sejurus kemudian bola lampu di rumahnya menyala, memecah kegelapan. Ia keluar rumah, berteriak sekencang-kencangnya, dan memberi isyarat pada semua orang untuk menekan tombol sakelar berwarna putih. Satu per satu titik cahaya mulai muncul, secara acak dari ujung barat ke timur menjadikan kampung itu terang benderang.

Cahaya pecah, gegap gempita, anak-anak kecil girang, berlari ke luar rumah, menikmati sinar cahaya berlimpah di malam hari, setelah sekian lamanya terkekang oleh gelapnya malam, ini adalah momen penting dalam hidup mereka sejak kali pertama dilahirkan di muka bumi, kakek-kakek, nenek-nenek, bapak-bapak dan mama-mama, tak ada yang mau ketinggalan momen tersebut, semuanya keluar, duduk di para-para, teras rumah panggung, untuk bersendau gurau dan tertawa, mensyukuri berkat yang baru saja diberikan Tuhan. Ada juga yang masih terheran-heran, bagaimana bisa ada listrik di Yerui.

Aku hanya larut dalam keharuan dan bahagia tak terkira, melihat pemandangan itu. Mataku berkaca-kaca mengingat kembali momen disaat aku berjanji untuk menghadirkan listrik di Kampung ini. Perjuanganku tidaklah muda, aku harus melakukan beberapa hal untuk mewujudkannya. Karena dana kantor yang tersisa tidaklah cukup, jadi aku harus mengajukan permohonan dana instalasi jaringan listrik sebesar lima puluh juta dalam Anggaran Perubahan 2014.

Setelah menyusun Daftar Pagu Anggaran, surat itu kuajukan pada Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah untuk selanjutnya dibahas oleh TAPD, Tim Anggaran Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen. Awalnya TAPD yang terdiri dari Sekretaris Daerah, Kepala Dinas Keuangan, Kepala Bappeda, dan Inspektur, tidak menyetujui usulan tersebut. Mereka berdalih itu bisa diusulkan dalam dana kampung tahun depan, dan tidak terlalu urgent.

Aku sudah coba menjelaskan bahwa ini semua demi kepentingan masyarakat terutama anak-anak yang ingin belajar di malam hari dan juga membantu masyarakat nelayan yang biasa membersihkan ikan hanya bermodalkan sinar lentera. Namun, alasanku itu belumlah terlalu kuat untuk meyakinkan mereka, apalagi aku hanyalah seorang pegawai baru.

Kak Roy sebagai Sekretaris Daerah juga sudah coba meyakinkan TAPD selama dua bulan terakhir, namun ia kalah jumlah suara, hingga akhirnya datanglah satu momen emas dimana setelah peresmian toko, Pak Bupati yang sedang diliputi rasa bangga dan haru, kemudian memberikan tambahan dana operasional bagiku. Kepala Dinas Keuangan tak bisa mengelak, ia segera menindaklanjuti permintaan tersebut. Dana inilah yang aku alihkan menjadi pengadaan instalasi listrik.

Alhamdulillah, ini semua bukan karena kuat dan hebatku ALLAH, tapi karena indah rencanaMU, dan aku adalah orang yang beruntung. Itulah sepenggal kalimat syukur yang kugaungkan dalam hati.

Lihat selengkapnya