Perahu baru sandar di tepi pantai, suasana kampung tampak sepi, tak seperti biasanya, tak ada anak-anak berlarian datang menyambutku, setelah mengambil tas ransel di perahu, aku bergegas menuju rumah, tak sabar ingin segera memberikan baju baru yang sudah kusiapkan untuk Pace Abbas, kebetulan hari ini dia berulang tahun. Aku juga sudah membawa kotak berisi kue ulang tahun untuknya. Semuanya menjadi semakin spesial karena itu semua kubeli bukan dari hasil jualan, melainkan gaji pertamaku yang baru cair setelah hampir enam bulan menunggu.
Aku juga ingin segera mengabarinya bahwa anaknya yang ia cari selama ini berhasil aku temukan lewat teman seangkatan yang dinas di Bali, katanya ia sudah lama bekerja disana sebagai Tour Guide, bahkan telah menikah dan punya dua orang putri. Rencananya setelah semua kerjaan selesai, aku akan mengajaknya kesana, menemaniku melamar Amanda dan menemui anaknya.
Dari pertigaan jalan setapak terlihat orang sedang ramai berkumpul di tempat tinggalku, mungkin terjadi sesuatu, walau samar terdengar suara rintihan, langkah kaki kupercepat, penasaran dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Semakin dekat suara tangisan semakin terdengar, dengan ungkapan kesedihan dalam bahasa daerah yang tak kumengerti.
Aku berlari memecah kerumunan warga, masuk dari pintu depan langsung menuju kamar, kulihat Haura sedang sibuk mempersiapkan proses transfusi darah, Yosias berdiri di sampingnya sambil menangis, sementara, Pace Abbas sedang terbaring tak berdaya, bersimbah darah, badannya penuh luka sayatan, beberapa jari tangannya nyaris putus demikian juga kakinya.
Spontan mataku berair, tak kuasa menahan sedih, ia melihatku, lalu aku duduk di sampingnya, memegang erat tangannya.
“Kenapa bapa bisa seperti ini?” tanyaku
Pace Abbas tak membalas, mulutnya masih mengeluarkan darah, ia hanya bisa diam sambil terus melihatku, nafasnya terasa berat. Proses transfusi mulai berjalan, kini Haura mempersiapkan perlatan medis lainnya untuk menjahit semua luka yang ada.
"Bapaak, dengar suara saya?" kata Haura berusaha untuk menjaga kesadaran Pace Abbas. Pace Abbas tidak merespon, denyut nadinya kian melemah. Semua orang menunggu dengan sabar di luar, hanya saya yang diperbolehkan tinggal oleh Haura. Air mataku mengalir takut kehilangan pria yang sudah kuanggap seperti ayah sendiri. Kugenggam tangan itu, erat sekali, sambil terus berdoa di dalam hati, semoga ALLAH Ta’ala memberikan keselamatan.
“Naaaak.” panggil Pace Abbas dengan suara lemah
“Ia pak?” jawabku mendekat
“Tolong jaga rumah ini baik-baik.” pintanya yang membuat hatiku hancur seakan-akan dia mau pergi untuk selamanya.
“Nanti kita jaga sama-sama bapa, kita kan mau ketemu anaknya bapak.” kataku sambil berusaha menahan tangis
"Terima kasih, maaf kalau bapa ada salah."
"Saya yang banyak salah sama bapa, sudah bikin repot bapa."