Penyu di Mandena

Laode Buzyali
Chapter #22

Badai

Cuaca gerimis saat aku tiba di pinggiran pantai Maria Dey tempat perahu bersandar, Samuel sudah menungguku, ada Haura duduk di anjungan perahu, ia juga ingin menghadiri pemakaman Pace Abbas. Setelah semua barang dinaikkan, kami berdoa bersama sebelum perahu itu melaju kencang menembus hujan dan gelombang yang cukup tinggi.

Sebenarnya Samuel menyarankan untuk menunda keberangkatan hingga hujan reda. Namun, aku bersikeras ingin segera pulang ke Yerui, bukan sekedar menghadiri pemakaman namun mempersiapkan produk untuk tamu penting, karena semua yang ada di Serui, sudah habis terbakar. Perahu motor milik Samuel memiliki lampu sorot yang ditempel di bagian atas anjungan, jadi ia masih bisa melihat ke depan saat malam tiba.

Sudah tiga jam kami diatas perahu, normalnya empat jam lagi kami sudah harus tiba di tempat tujuan, badai masih terus bergemuruh, ombak laut tingginya mencapai dua meter, hujan tak kunjung reda, kian deras setiap detiknya buat jarak pandang semakin pendek, perahu itu sulit melaju ke depan lebih banyak terbawa arus yang semakin kuat, beberapa kali mesin mati, karena dipaksa bekerja terlalu keras, samuel berulang kali menyalakan mesin itu hingga terlihat kewalahan.

Lampu sorot tiba-tiba mati, kondisi jadi semakin gelap, hanya ada kabut tebal hujan di sekeliling. Samuel masih berupaya menyalakan mesin, aku keluar dari anjungan melangkah perlahan kearahnya, memberikan penerangan baginya yang sedang mengotak-atik mesin dibawah derasnya hujan.

Perahu kami terombang-ambing, terhempas oleh gelombang yang datang dari segala arah, perahu mulai penuh terisi oleh air, Haura bergegas membantu mengeluarkan air dari dalam perahu, kami semua sudah basah kuyup. Mesin akhirnya menyala, Samuel sedang melihat ke sekeliling bermaksud mencari daratan terdekat agar kami bisa segera berlabuh dan menunggu hujan reda. Namun, ia bingung menentukan arah mana yang harus kami tuju, semuanya gelap dan berkabut.

Setelah berpikir sejenak, intuisinya berkata, ia harus mengikuti arah ombak, semoga saja pilihannya itu akan membawa kami menuju daratan, namun tiba-tiba mesin kembali mati dan perahu dalam posisi yang sudah tidak ideal, gelombang besar datang menghempas dari samping buat posisi kami miring empat puluh lima derajat, kalau mesin menyala, maka perahu akan dengan mudah diarahkan untuk mendorong berlawan arah sehingga kembali seimbang, namun karena mesin kembali mati dan Samuel juga sudah kewalahan, tak berselang lama, gelombang kedua menyusul, menghantam perahu hingga posisi miring kini sudah sembilan puluh derajat, sebelum perahu itu terbalik sempurna, kami semua meloncat ke dalam laut.

"Tolooooooong." Suara Haura samar-samar.

Aku melihat ke sekeliling, Haura dan Samuel sudah tak ada, entah dimana posisi mereka saat ini, aku berusaha mencari perahu, namun juga tak terlihat. Hanya terdengar suara minta tolong yang semakin menjauh. Aku tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa berdoa memohon keselamatan, kuatnya arus buat kemampuan berenang terasa sia-sia, kubiarkan tubuhku terbawa arus, gelombang tinggi silih berganti datang buat tubuhku timbul dan tenggelam berulang kali, aku lelah, mataku gelap, mulutku mulai meminum banyak air laut, hingga akhirnya kehilangan kesadaran.

  *

Kala hujan tiba

Lihat selengkapnya