Penyu di Mandena

Laode Buzyali
Chapter #25

Dear Mandena

Pagi hari di Kota Serui. Aku dan Amanda berdiri berhadapan, dipisahkan oleh jembatan kayu, yang menghubungkan dua tebing, Ia tersenyum manis kemudian berlari ke arahku, aku pun menunggunya di seberang dengan tangan terbuka, bersiap memeluknya, saat hendak tiba, tali jembatan itu putus satu per satu, aku berusaha memegang tali itu, menunggu hingga Amanda tiba, namun, tanganku tak kuasa menahan hingga akhirnya Amanda hilang ditelan jurang gelap. Ia hilang dari pandanganku.

"Amanda." teriakku sambil terbangun dari tidur, ternyata mimpi buruk, bajuku basah karena keringat.

"Kamu kenapa nak?" kata Ibuku yang sigap mengeringkan keringatku dengan tisu yang sudah disiapkannya, pandanganku masih kosong belum menyadari kehadiran Bapak dan semua kru ikan asin, Rangga, Yosias, Ay dan Ondo.

"Tanggal berapa sekarang?" tanyaku

"Tanggal 6 Januari." jawab mereka serentak, mendengarnya buatku menghela nafas panjang, berbesar hati menerima kekalahan, sudah lewat enam hari dari waktu yang ditetapkan, Amanda sudah jadi milik orang lain.

Kesadaranku berangsur pulih, kaget dengan kehadiran kedua orang tuaku, kapan mereka tiba di Serui. Aku juga mulai ingat dengan semua yang terjadi hampir dua minggu ini, badai, penyu, viktor dan...

"Mana Haura?" tanyaku

"Maksudmu dokter itu y?" jawab ibuku

"Ia bu, darimana ibu tahu?"

"Tadi dia kesini, pamit katanya mau langsung ke Jakarta sama papanya, trus nitip surat buat kamu, itu ibu taruh di atas meja."

Aku mengambil amplop berwarna putih tersebut ada sepucuk surat didalamnya. Segera kubaca.

Dear Mandena,

Aku adalah penyu yang kehilangan tempat untuk kembali. Terombang-ambing di samudera luas, berteman sepi dan dingin, hingga akhirnya gelombang takdir mengantarkanku kepelukanmu, kau buatku hangat, berikan tempat berteduh dalam istana puisi milikmu. Aku ingin tinggal lebih lama didalamnya, namun kusadari kau adalah milik penyu lainnya.

Surat kumasukkan dalam saku celana, turun dari tempat tidur.

"Kamu mau ngapain nak?" kata ibuku khawatir

"Ga, antar aku ke bandara!" pintaku pada Rangga

Aku bergegas ke luar ruangan dengan kaki pincang menuju halaman parkir, Rangga bergegas menyalakan motor, menungguku naik, tak lama berselang ia tarik gas semaksimal mungkin, asap knalpot menyembur keluar, motor itu melaju kencang keluar pintu gerbang rumah sakit, menuju jalan raya. Waktuku tak banyak hanya tiga puluh menit, sementara normalnya waktu ke bandara ditempuh dalam waktu satu setengah jam.

Surat darinya belum selesai kubaca, satu hal yang pasti aku tak terima jika salam perpisahan darinya hanya disampaikan lewat sepucuk surat. Walaupun dia sudah tahu tentang Amanda entah darimana, tapi, setelah semua kisah yang kami alami di Miosnum, kenapa juga ia tak mengabariku perihal keberangkatannya hari ini. Satu per satu kendaraan yang ada di depan kami salip, spedometer sudah diatas 80 km per jam nyaris 100 km. Rangga terus fokus melihat kedepan.  

Lihat selengkapnya