Setiap awalan pasti memiliki akhir. Itu yang terjadi sejak dunia pertama kali diciptakan dan berlaku untuk semua hal. Entah itu dalam arti baik maupun buruk. Dan sudah sejak dulu, aku selalu mempersiapkan diri untuk setiap akhir dalam satu kisah hidupku, sekalipun itu buruk. Bukannya tak percaya diri, namun aku hanya mempersiapkan mental untuk kemungkinan terburuk yang akan terjadi, kalaupun benar-benar terjadi setidaknya aku tidak hilang kendali.
Bagiku setiap fase dalam kehidupan seperti papan catur, jika kau tidak menyusun strategi dengan baik, maka pertahananmu akan hancur bahkan saat pertandingan baru dimulai. Jujur aku tak punya banyak persiapan dalam situasi seperti ini, saat dimana aku akan bertemu dengan orang tua Amanda. hanya ada cinta yang tulus dan keberanian. Jam tangan menunjukkan pukul setengah delapan malam, aku baru saja tiba di resto rumah laut favorit Amanda, mengenakan kemeja tenun khas Sulawesi Tenggara dan celana panjang hitam dengan bahan kain.
Orang tuaku sengaja tak kuajak, kusimpan untuk prosesi lamaran nanti, selain itu, aku juga merasa takut jikalau nanti keinginanku ditolak. Mereka pasti sedih jika melihatku kecewa. Malam itu, tak seperti biasanya, suasananya tampak sepi, tak ada satupun pengunjung, di dekat pintu masuk, ada papan tulisan full reservation, apa aku salah tempat y? pikirku sesaat, kucoba melihat kembali pesan yang dikirimkan Amanda, ternyata memang benar inilah titik pertemuannya, akupun berjalan memasuki resto tersebut dengan mata melihat ke kiri dan kanan mencari Amanda.
“Atas Nama Siapa?” kata seorang waitress dengan setelan kemeja putih lengan Panjang, dasi kupu-kupu dan celana chino hitam yang datang menghampiriku
“Salman.” jawabku singkat
“Sudah ditunggu didalam pak, langsung saja ke ruang VIP lantai 2!” seru pelayan itu dengan senyum. Dengan segera aku bergegas menuju tempat yang telah disebutkan.
Aku hafal sekali dengan setiap sudut tempat ini, karena aku dan Amanda selalu menyempatkan waktu untuk makan saat berkunjung ke Bandung. Dari bawah aku sudah bisa melihat pintu masuk lantai 2 yang ada di ujung anak tangga di atas, kaki perlahan kuangkat menaiki anak tangga yang terbuat dari papan kayu, sebisa mungkin tidak memunculkan suara yang mengundang perhatian, kini aku sudah di depan pintu masuk, jantungku berdebar semakin kencang, lebih kencang ketimbang menghadapi ujian skripsi yang lalu.
Aku berhenti sesaat melihat Amanda duduk bersama kedua orang tuanya, Pak Yusuf Dasan dan istrinya yang terlihat tak kalah cantiknya dengan Amanda, mereka kompak mengenakan atasan putih dan bawahan jeans, aku melangkah perlahan, telapak tangan terasa dingin berkeringat, bibirku bergetar, lututku terasa lemas tak bertenaga seperti orang lagi demam panggung. Ini adalah kali pertama aku bertemu dengan orang tuanya.
“Assallamuallaikum om, tante,” sapaku saat sudah berada di jarak yang cukup dekat
“Waallaikumsalam, eh yang ditunggu udah datang.” jawab ibunya sambil tersenyum. Nyonya Anindya Yusuf Dasan, senyumnya terlihat seperti tak asing, perawakannya sangat mirip dengan Amanda.
“Maaf tante saya sedikit terlambat.” kataku sambil mencium punggung tangannya sebagaimana perlakuanku pada kedua orang tuaku, aku hanya melakukan ini dengan orang-orang tertentu saja yang kuanggap lebih tua dan layak untuk dihormati.
“Gak apa-apa, kami juga blum lama, silahkan duduk!” jawab Nyonya Anindya
Setelah mencium tangan ibunya Amanda, Aku hendak beralih mencium tangan ayahnya, namun Pak Yusuf menolak, ia mengabaikan uluran tanganku dan sibuk menatap layar handphonenya. Jadi, kuputuskan untuk langsung duduk di kursi kosong tepat di depannya, kami saling berhadapan. Sementara Amanda duduk disamping kananku.
Ia terlihat luar biasa malam itu, manis dan anggun, hanya saja karena demam panggung sejak melihat Pak Yusuf, aku tak berani melontarkan pujian kepadanya seperti yang biasa aku lakukan.
“Ijin om, tante, ini ada oleh-oleh dari saya,” kataku sambil memberikan sebuah benda berukuran 1 x 1,5 meter yang terbungkus kertas sampul warna putih. Amanda menatapku dengan penuh rasa penasaran, karena aku tak memberitahunya soal kado itu. Ayahnya masih tak menghiraukan, ia masih sibuk dengan telepon genggam di tangannya. Melihat suaminya seperti itu, Nyonya Anindya dengan segera menerima kado tersebut.
“Boleh saya buka?"
"Silahkan tante!" jawabku
setelah merobek sampulnya, ia kemudian melihat isi kado itu dengan seksama, matanya berbinar memandang setiap sudut dengan senyum kecil yang perlahan merekah.
"Makasih ya nak, lukisannya bagus sekali,” kata Nyonya Anindya sambil melihat ke arahku.
"Alhamdulillah, kalau tante suka." kataku.
Amanda dengan segera bergegas meminta kado itu dari genggaman ibunya, ikut penasaran, untuk segera melihatnya.
"Makasih." ucapnya dengan nada lembut dan manja setelah puas melihatnya. Aku selalu senang melihat ekspresinya yang seperti itu, namun saat ini aku mulai merasa tak nyaman dengan sikap ayahnya yang masih belum bersuara, apakah ini arti sebuah penolakan.
“Ini pak, bagus loh gambarnya, sketsa Amanda waktu masih berumur 5 tahun.” kata Nyonya Anindya kepada suaminya sambil menunjukkan lukisan tersebut, Pak Yusuf cuman melirik sekilas lalu sibuk kembali dengan handphonenya, ia terlihat sama sekali tidak tertarik.
Dag.Dig.Dug.Deg.
Jantungku serasa mau meledak, strategi pertama tak berjalan semestinya. Menurutku, memberi kado kepada calon mertua pada pertemuan pertama merupakan cara terhebat untuk memberikan kesan yang baik tentang dirimu, cuman malam ini, mungkin aku sedang tidak beruntung.
“Terus buat aku mana?” kata Amanda sambil menggoda
Dengan segera kujulurkan setangkai mawar putih yang sudah kusembunyikan di saku celana sedari tadi.