Penyu di Mandena

Laode Buzyali
Chapter #3

Enam Bulan

 

Sinar mentari masuk lewat ventilasi jendela kamar, ruangan yang gelap perlahan mulai terang. Mataku bergerak merespon cahaya dan kehangatan yang mulai memenuhi seisi ruangan. Kantukku masih sangat terasa, badanku terasa lemas karena sudah dua malam aku tak bisa tidur dengan nyenyak, pikiranku terus terjaga mengingat syarat yang diajukan malam itu.

Aku masih terbaring berteman sepi, memeluk tubuhku sendiri, tak ada yang menemani. Orang tuaku sudah lebih dulu berangkat ke kampung halaman kemarin, katanya sih mereka mau ikut iring-iringan sepupuku, Rudi, yang akan pergi melamar kekasihnya hari ini. Sebenarnya aku juga ingin sekali mengikuti acara itu, akan tetapi karena ada kabar bahwa hari ini akan ada pembagian surat keputusan penempatan tugas dari Menteri Dalam Negeri. Akhirnya kuurungkan niat itu dan lebih memilih untuk tetap tinggal di Jatinangor.

Sejak kejadian yang kusebut kekalahan malam itu, Amanda belum juga menghubungiku sampai detik ini, akupun demikian tak punya keberanian untuk memulainya, berulang kali pesan yang sudah diketik, harus kuhapus kembali. alasannya karena aku berpikir belum punya uang yang diminta oleh ayahnya. Biar bagaimanapun sebagai laki-laki aku punya harga diri. Aku tak ingin dikasihani olehnya.

Kuraih gambaran kami berdua dalam bingkai foto yang terletak disamping tempat tidur, Pipi merah muda dihiasi lesung pipi yang begitu salam dan senyum langit ketujuh, pemandangan yang selalu membuat hatiku terasa hangat. Rasa-rasanya seperti berdiam diri dalam selimut tebal saat sedang hujan deras. Semakin kupandangi, semakin aku tenggelam dalam kehangatan itu dan tak sanggup keluar darinya.

Aku harus memperjuangkan selimut itu, rasa takut akan kegagalan adalah wajar mengingat sudah banyak kisah cinta di kampus yang tak selalu berakhir happy ending. Semua kandas sebatas gerbang PKD. Gerbang putih berbentuk kerucut terbelah yang melambangkan gunung dengan kawah panas membara di dalamnya. Mirip seperti lakon pewayangan Ramayana yang mengisahkan Ksatria Gatotkaca pernah di rebus di dalam Kawah Candradimuka agar menjadi sosok ksatria yang kuat, berjiwa besar, berpegang teguh pada prinsip, menolong sesama, dan berani membela kebenaran.

Apakah gerbang itu hanya dibuat untuk melahirkan para ksatria dan tak merestui kisah cinta sejati untuk bermula darinya? Apakah hubunganku dengan Amanda juga akan berakhir? Aku masih mengamati foto itu, bernostalgia dengan momen kekalahan tim kami di pertandingan final Futsal se-Provinsi Jawa Barat, waktu itu aku sangat kecewa hingga tak kuhiraukan kehadiran Amanda yang ada disampingku, seingatku Amanda pernah menulis sesuatu di baliknya. Kubuka kembali foto itu dari bingkainya. Disanalah tempat aku menemukan sesuatu.

Menang bisa besok atau kapan saja, tapi waktu tak dapat diputar kembali. Kekalahan bukanlah kekosongan, dibaliknya ada belajar untuk besar hati, keberanian untuk mencoba, cinta dari orang yang kita sayangi dan respek dari lawan. bersyukurlah untuk kesempatan itu lalu tegakkan kepalamu, karena tak semua orang bisa merasakannya.

-Dari aku buat kamu yang lagi tertunduk lesu-

Hatiku bergetar membaca kalimat itu, sekujur tubuhku seakan mendapat suntikan motivasi dan semangat baru, adrenalinku terpacu hingga menembus batas, Amanda benar, tak peduli apapun hasilnya nanti, aku harus tetap bersyukur mendapat kesempatan yang tak semua orang dapatkan, oleh karena itu, aku harus mengerahkan segenap kemampuan yang kumiliki.

Aku bangkit dari tidurku, kemudian melangkah menuju kamar mandi, mencuci mukaku lalu sarapan roti dengan secangkir kopi tanpa gula dalam gelas kaca yang diberikan Amanda sebagai hadiah ulang tahun yang kedua puluh. Bagian luar gelas itu bertuliskan, The Darkest Night Will Produce The Brigthest Stars, malam yang gelap akan menghadirkan bintang yang maha terang. Kehidupan yang rumit akan melahirkan sosok manusia hebat.

Aku duduk di depan meja belajar, laptop sudah kunyalakan lengkap dengan modem agar bisa terkoneksi dengan jaringan internet, buku catatan kubuka lalu dengan sebuah pena, aku mulai menulis dengan judul Enam Bulan.

Drrrt...Drrrt...Drrrt...Handphoneku bergetar tanda pesan masuk.

Tak kuhiraukan pesan itu, berusaha fokus dan tenang. Dengan mata tertutup, kubiarkan pikiranku terbang menembus langit ketujuh, berusaha untuk bertanya pada Sumber Inspirasi. Waktu yang kumiliki sangat singkat, jadi aku harus bisa melakukan segala sesuatunya dengan sempurna, untuk mengurangi peluang terjadinya kesalahan yang akan membuang-buang waktu, aku butuh strategi yang cepat, tepat dan akurat untuk meraih kemenangan yang gemilang.

Lihat selengkapnya