Yerui adalah nama dari sebuah distrik yang letaknya di ujung Kabupaten Kepulauan Yapen. Jumlah penduduk mencapai delapan ratus jiwa, yang tersebar merata ke lima wilayah kampung. 99% penduduknya merupakan orang asli Papua yang sudah lama menetap disana. Menurut sejarah, dulunya nenek moyang mereka sering mencari ikan di sekitaran Pulau Mandena yang letaknya di ujung Pulau Yerui, lautnya terkenal sebagai taman tempat bermain berbagai jenis ikan, mulai dari ikan mubara, ikan tenggiri, ikan merah, beragam jenis ikan karang hingga teripang dan lobster pun banyak ditemukan.
Biasanya para warga akan menangkap ikan di Pulau Mandena, setelah itu, pulang bermalam di Pulau Mios masih di sekitaran wilayah Pulau Yerui, jaraknya sekitar satu jam perjalanan laut. Hal tersebut dilakukan karena di Pulau Mandena tidak ada sumber mata air tawar untuk minum dan mandi. Kegiatan ini akan berlangsung selama 2-3 minggu, jadi, mereka akan membangun sebuah pondok kecil sekedar untuk tidur dan istirahat. Setelah merasa hasil tangkapannya cukup, mereka akan pulang ke rumahnya yang berada di Pulau Besar Yapen, yang sekarang dikenal sebagai pusat kota administratif, Serui.
Pola hidup seperti ini terus berlangsung dalam waktu yang lama hingga pada satu waktu mereka mulai berpikir untuk membangun tempat tinggal tetap di pulau tersebut, rumah panggung mulai didirikan di atas tanah adat yang mereka miliki sesuai silsilah nenek moyang yang diceritakan secara turun-temurun.
Konon pulau tersebut milik dua keluarga besar yang ada di Yapen, saat pulau tersebut ditemukan pertama kali oleh kedua suku tersebut, mereka memutuskan untuk membagi dua pulau tersebut, sebagai warisan bagi anak cucu kelak. Metode pembagian wilayah dilakukan dengan cara berlayar dari ujung timur menuju ujung barat pulau menggunakan sebuah perahu, sejauh mana jarak yang bisa mereka tempuh sampai bertemu kembali di ujung pulau satunya, maka itulah luas wilayah yang bisa mereka miliki.
Hasilnya mereka bertemu persis di ujung satunya, kurang lebih keduanya mendapatkan luas wilayah yang hampir sama, kemudian lahan tersebut mereka bagi kembali secara adil kepada seluruh suku keluarga yang berada di bawahnya. Hal inilah yang dipercaya oleh keturunan mereka hingga saat ini, jadi tak heran setiap jengkal tanah dan pulau-pulau kecil di sekitaran pulau tersebut sudah memiliki pemilik.
Letak Pulau Yerui cukup jauh dari pusat ibu kota. Lama perjalanan diperkirakan sekitar 7-9 jam menggunakan perahu kayu dengan mesin motor tempel 40 PK. Sebenarnya, dengan jumlah penduduk yang minim, wilayah ini belum layak untuk dimekarkan menjadi sebuah distrik, karena menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008, suatu kecamatan minimal terdiri dari lima desa dimana setiap desa terdiri dari minimal lima ratus jiwa penduduk, dengan demikian Pulau Yerui seharusnya memiliki jumlah penduduk minimal dua ribu lima ratus jiwa untuk memenuhi persyaratan dibentuk sebagai sebuah distrik.
Namun karena pulau tersebut masuk dalam kategori daerah terpencil sehingga dipaksakan untuk mekar demi mendorong percepatan pembangunan dan memperpendek rentang kendali pemerintah terhadap masyarakat di daerah tersebut, kebijakan ini masuk akal, namun tidak sepenuhnya benar karena kalau dikaji kembali, maka banyak daerah di Indonesia yang bisa menuntut hal serupa, karena kita adalah negara kepulauan.
Kini pemerintahan di distrik tersebut lumpuh total karena tidak ada pegawai yang berani turun kesana, Kepala Distrik sebelumnya yang diceritakan Kak Fery telah pindah tugas ke daerah kota, sementara pelaksana tugas Kepala Distrik yang baru juga tidak pernah masuk kantor, alasan mereka selalu soal keluarga, keamanan, fasilitas dan akses yang sulit. Alasan ini ada benar dan ada salahnya.
Salahnya adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil yang telah diambil sumpahnya sesuai ajaran agama masing-masing, sudah seharusnya siap untuk ditempatkan dimana saja. Jadi, tidak bisa menggunakan keluarga, keamanan dan alasan lainnya sebagai bahan untuk menolak perintah pimpinan atau mandat negara. Menurutku sumpah itu suci dan kesepakatan kita dengan Tuhan, jadi, apapun agamamu sudah seharusnya itu dijaga walau nyawa taruhannya.
Benarnya adalah dengan minimnya akses dan kondisi fasilitas di wilayah tersebut maka dampak yang paling dirasakan adalah soal kemahalan harga bahan pokok dan transportasi di wilayah tersebut, untuk itu, sudah seharusnya pemimpin daerah memberikan afirmasi bagi setiap PNS yang bertugas di wilayah tersebut berupa tunjangan tambahan sebagaimana yang dilakukan Para Kepala Daerah di Wilayah Pegunungan Papua, karena kondisinya serupa. Tentu tak adil bagi mereka, jika PNS yang bertugas di daerah kota memiliki tunjangan yang sama dengan di daerah pedalaman.
Itulah informasi penting perihal kondisi di Pulau Yerui saat ini dari Kak Roy, Ketua IKAPTK Kabupaten Kepulauan Yapen. Informasi itu disampaikan langsung olehnya pada saat makan malam spesial penyambutan kedatanganku kemarin malam, Acara itu berlokasi di rumah pribadi beliau dan dihadiri oleh sekitar delapan puluh orang Purna Praja Yapen, terdiri dari enam puluh orang pria dan dua puluh orang wanita. Aku belum hafal semua nama dan tahun kelulusannya. Yang jelas mereka ramah dan baik sekali padaku.
Acara tersebut jauh dari kata formal, karena tak ada undangan resmi, hanya pesan singkat via grup WA, tak ada dress code, cukup pakaian bebas rapi, bahkan dilakukan dibawah sinar rembulan alias outdoor dan sejuknya angin malam. Menu utamanya adalah ikan tenggiri raksasa berukuran hampir dua meter, ikan itu dipotong kecil-kecil, dagingnya di fillet ala koki internasional lalu diolesi dengan bumbu rahasia ala purna yapen kemudian dibakar diatas besi pemangang dengan arang yang menyala-nyala di bawahnya, asapnya mengepul mengikuti arah tiupan angin malam.
Tak jauh dari lokasi pembakaran, di atas meja makan berukuran 3x4 meter persegi ada satu loyang singkong rebus, sepiring sambal dabu-dabu, sambal ulek dengan bahan dasar cabe, bawang merah, garam dan tomat, kemudian satu termos es teh, dan satu panci pisang kapuk yang sudah direbus sebagai desert.
Sumpah, Nikmat Sekali Rasanya !
Kelezatan ikan segar hasil tangkapan, tekstur singkong yang lembut, sambal yang buat lidah bergoyang dan keringat di sekujur tubuh, diselimuti tawa canda, suasana kekeluargaan Purna Praja seperti itu yang selalu kurindukan, memberikan sensasi kenikmatan dengan dimensi yang berbeda. Rasa-rasanya seperti saat aku sedang berkumpul dengan keluargaku yang ada di Sulawesi Tenggara.
Alhamdulillah. Maka Nikmat Tuhan Mana Lagi Yang Kamu Dustakan. Kataku dalam hati.
Inilah keajaiban di balik setiap petualangan. Kamu akan menemukan hal-hal unik yang buat kamu tak berhenti untuk kagum dan bersyukur, setelahnya hanya ada rasa nagih dan kaki yang tak mau berhenti untuk melangkah. Hingga sekarang hanya dengan mengingat lezatnya makanan semalam buat produksi air liur meningkat dua kali lipat. Semoga aku akan berjumpa pengalaman seperti itu, di Yerui nanti.
Kini aku sudah berada di tepian pantai Maria Dey, menunggu perahu motor jemputan yang telah dijanjikan oleh Kak Roy. Karena Kapal Feri baru ada sekitar sebulan lagi, maka aku putuskan untuk menaiki kendaraan transportasi alternatif, pelampung berwarna orens sudah melekat di tubuhku, tak lupa ransel berisi laptop dan pakaian, juga karton berisi makanan, tak lupa perlengkapan mandi serta obat-obatan. Tak kusangka banyak sekali bekal yang mereka belikan untukku, rasa-rasanya cukup untuk sebulan, aku cukup terharu melihat semua pemberian itu.
“Udah mau jalan?” tanya manda