Penyu di Mandena

Laode Buzyali
Chapter #6

Sang Perindu

 Miosnum, 27 Juni 2014. Aku berjalan di tepian pantai, menyaksikan mentari tersenyum lebar saat fajar datang menyingsing. Sinarnya menyentuh lembut kulit air laut, menghangatkan dan menerangi setiap kehidupan di dalamnya, udara sejuk merasuk ke tubuh, mengusir penat dan lelah akibat perjalanan jauh kemarin. Yang katanya cuman "sedikit lagi" itu. 

Aku belum sempat mengajarinya arti kata sedikit. Karena saat aku bangun, ia masih lelap di kamar tidurnya, mendengkur keras, seperti suara alarm. Kakiku terus melangkah, hati terus mengucap syukur, aku memang selalu begitu saat melihat hamparan pasir putih yang tak berujung. Jejak kaki di atas pasir terhapus oleh ombak yang datang menyapa. Kubiarkan kakiku basah, karena sejak kecil kami telah berteman.  

Aku tengelam dalam imaji, membayangkan senyumnya yang jauh di seberang lautan. Tidurku tak nyenyak semalaman. Galau dan gelisah penuh sesak di dada. Belum lagi gangguan nyamuk sebesar biji jagung. Seingatku tak ada spesies nyamuk sebesar itu sewaktu pelajaran biologi di bangku sekolah.

Langit jauh diatas sana tak bisa kugapai, jadi kupilih laut untuk titipkan rasa rindu yang tak berujung. Berharap rasaku ini bisa tersampaikan pada Amanda. Langkahku terhenti melihat sebuah bangunan dengan cat warna putih yang mulai memudar, dikelilingi rumput setinggi kurang lebih satu meter, letaknya tak jauh dari bibir pantai, di depannya ada sebuah papan rapuh bertuliskan Kantor Distrik Pulau Yerui.

Aku berjalan meninggalkan tepi pantai, mendekati bangunan itu, menyusuri jalan setapak yang terbuat dari timbunan pasir, kedua sisinya dikeliingi kolam kangkung, ada beberapa ekor burung bangau yang sedang berburu, melihatku dengan tatapan curiga, setibanya di depan pintu bangunan, aku berkeliling melihat dinding yang dipenuhi percikan tinta merah, kuduga itu adalah ludah pinang yang biasa dikonsumsi teman-teman dari Papua.

Beberapa kaca jendela tak lagi utuh, sebagian pecahannya belum dibereskan dan masih berserakan, karena penasaran aku bergegas memasuki gedung tersebut, lewat pintu depan yang tak tertutup rapat.  Di koridor aku melihat meja dan kursi berantakan, banyak sampah mie instan yang berceceran di lantai, beberapa puntung rokok juga disana, lantainya penuh dengan pasir. Kondisi ini mirip seperti yang diceritakan Kak Fery.

Gedung tersebut memiliki lima ruangan, tiga berjejer di samping pintu masuk, sementara dua lainnya menghadap pintu. Kubuka satu persatu pintu ruangan, dengan maksud ingin mengetahui apa saja isi di dalamnya. Ruangan pertama, tak bisa kubuka karena terkunci, ruangan kedua, hanya ada dua meja tanpa kursi, tak ada surat-surat atau pernak pernik kantor lainnya, benar-benar kosong, begitupun di ruangan ketiga, hanya ada sepasang meja dan kursi.

lalu tibalah aku pada ruangan keempat, dengan papan nama bertuliskan Sekretaris Distrik di bagian atas pintu dekat lubang udara, sebelum kubuka ruangan tersebut, aku mendengar suara aneh yang terdengar mirip suara orang yang sedang tertidur.

Zzzzzzzttt…fussssssss

Zzzzzzzzttt…fussssssss

Cekrek, Pintu itu aku buka perlahan dan kondisi didalamnya mulai terlihat. Aku terkejut saat melihat ada seseorang disana, ia masih terbuai dalam mimpi, terbaring lupa diri di atas kasur tipis yang beralaskan tikar, obat nyamuk bakarnya sudah habis, piring kotor dan cangkir kopi yang belum sempat dicuci diletakkan di dekat kasurnya, rak piring dan termos nasi juga ada di sudut ruangan, lengkap dengan gantungan pakaian yang ada di sisi lain ruangan tersebut. 

 Pandanganku tertuju pada pernak-pernik di atas meja kecil, mulai dari buku, alat tulis, kartu gaplek, hingga foto seorang perempuan berambut keriting dengan kulit hitam manis. Di baliknya tertulis, Sa Pu Lope. Aku tak mengerti maksudnya, apakah mungkin itu bahasa daerah sini. Entahlah, Aku kembali melihat kondisi di sekitar ruangan.

 “Woi, jangan ko macam-macam e, ini saya punya kantor!” katanya membuatku kaget bukan kepalang, hingga tak sengaja menendang gelas plastik yang ada disebelah tempatku berdiri. Namun Kubalikkan tubuhku perlahan melihat kearahnya, namun ternyata matanya masih tertutup. Suara dengkurannya kembali terdengar. mengigau rupanya. Sialan !

"Sioo, ade sayang seh, kk pu gaji pertama, langsung tong dua menikah e." katanya masih dengan mata tertutup. Aku hanya bisa senyum menahan tawa. Karena penasaran aku berjalan ke arahnya, melihatnya lebih dekat, memastikan ia benar-benar tertidur. Kulitnya hitam, rambutnya ikal khas orang Papua, gigi ompongnya telihat jelas karena mulutnya yang terbuka lebar, belum lagi air suci yang mengalir di samping mulutnya.

Siapa orang ini? berani sekali menggunakan fasilitas negara layaknya rumah pribadi. Ingin sekali membangunkan lalu menanyakan banyak hal. Namun kutunda nanti saja, untuk saat ini lebih baik aku pulang, mandi, sarapan lalu balik lagi ke kantor dengan seragam dinas, Kemudian aku berjalan keluar, berusaha untuk tidak menimbulkan suara.

Eh, stop!” suara orang tersebut, tapi kali ini tak kupedulikan, karena pasti ia masih mengingau.

Sa bilang stop ya stop!” katanya kembali

langkah kaki tak kuhentikan, aku terus berjalan ke luar ruangan dan berniat kembali ke rumah karena merasa cukup dengan perjalananku pagi ini. Tiba-tiba aku merasakan ada benda tumpul yang telak mengenai bagian belakang kepalaku, entah benda apa itu, aku mulai merasa pusing, pandanganku kabur, tubuhku lunglai, sebelum akhirnya jatuh setengah sadar. Sayup-sayup terdengar langkah kaki mendekat.

Jadi ko ni yang selama ini curi lampu di kantor ya?” kata pria tersebut mendekat, berdiri di sampingku.

"Woi bangun, jangan pura-pura pingsan!" lanjutnya. Dari luar kantor, terlihat ada dua orang datang mendekat, dengan wajah sumringah ia keluar menghampiri hendak mengabarkan sesuatu.

Kebetulan kam datang, ini akhirnya saya temukan pencuri lampu kantor yang selama ini kita cari.” katanya kepada Pace Abbas dan Sam, seorang teman dekatnya.

Siapa?” tanya Pace Abbas

Itu dia ada di dalam.” katanya sambil menunjuk tubuhku yang tergeletak tak berdaya.

Lihat selengkapnya