Penyu di Mandena

Laode Buzyali
Chapter #7

dr.Haura

Aku melihat sekeliling ruangan, temboknya berwarna putih, dipenuhi tempelan poster bertemakan kesehatan, mulai dari pola hidup sehat dan makanan bergizi. Tepat di sampingku, ada sebuah tiang besi yang biasa digunakan untuk menggantung botol infus, satunya lagi terletak di samping kasur putih yang letaknya tak jauh dari tempatku terbaring. Mungkin itu digunakan untuk pasien lainnya, suasana ruangan itu mirip Kamar Sakit Asrama di IPDN.

 Ada beberapa orang yang sedang melihat lewat jendela louver, ekpresi wajah mereka nampak seperti kebingungan, berusaha mencari tahu siapa diriku, wajar karena aku orang baru.

Pak sek, bagaimana kondisi?" tanya Pace Abbas yang sedari tadi sudah berdiri di sampingku. namun tak kusadari, suaranya pun hanya terdengar begitu saja tanpa bisa kubalas. Pandanganku masih kosong, berusaha mengumpulkan nyawa.

Tunggu saya panggilkan bu dokter!” kata Pace Abbas berlalu keluar ruangan. Aku masih diam dengan tubuh lemas. Tak lama berselang, seorang wanita menggunakan jas warna putih dan stetoskop yang melingkar di leher masuk ke ruangan. Ia berjalan menghampiriku.

Gimana kondisinya mas?” kata wanita tersebut. Akupun menoleh kearahnya.

"Nona?" kataku kaget melihat Amanda, bagaimana bisa ia hadir disampingku saat ini, apakah ia tahu kalau aku pingsan, kemudian datang menjengukku. Dengan segera kuraih tangannya.

"Aku rindu kamu." punggung tangannya kulekatkan ke pipiku. tak ingin kulepas.

"Mas?" katanya sedikit kaget dengan reaksiku.

Ia nampak berusaha menarik tangannya dengan halus, mungkin malu dengan orang lain yang melihat, tapi tak kubiarkan begitu saja, aku sudah tak peduli apa kata orang, aku memang sangat merindukannya.

"Mas!" katanya sekali lagi sambil berusaha melepaskan genggamanku.

"Biarkan mas melepas rindu dek, sebentar saja." kataku dengan mata terpejam.

Kejadian itu bertahan selama beberapa menit, sampai akhirnya aku merasa puas dan perlahan kulepaskan genggamanku. Aku merasa jauh lebih baik, kini aku siap untuk mengobrol dengannya setelah sekian lama, mata kubuka dan melihat wajahnya kembali, namun tiba-tiba aku kaget terperanjat, saat melihat ternyata wanita itu bukan Amanda. ia adalah seorang dokter yang perawakannya memang mirip kekasihku. Ada bordiran nama di jas putih miliknya, dr. Haura.

Wajahku memerah berusaha menahan malu, aku hanya bisa terdiam, tak bisa berkata-kata, bahkan melihat wajahnya pun, aku sudah tak punya keberaian, rasa rindu membuatku pandanganku kabur, sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan.

Maaf dok!” kataku menahan malu sambil berusaha menjaga wibawa. Pace Abbas hanya tersenyum-senyum melihat tingkahku barusan, nampak sekali ia berusaha menahan tawa.

Oh, gak apa-apa mas, syukurlah kalau sudah baikan, nanti obatnya jangan lupa diminum, biar lukanya bisa cepat sembuh,” sarannya

Luka dok?” tanyaku

Ia, tadi kepalanya sempat berdarah, tapi sekarang sudah baikan kok, lukanya sudah dijahit.” katanya sambil tersenyum, aku hanya bisa diam mendengar semua kata yang keluar dari bibir berwarna merah muda itu, bahkan tanpa balutan make up tebal, ia sudah seperti ini. Ya Allah dia mirip sekali dengan Manda versi dokter. 

“Kapan saya bisa pulang dok?” tanyaku

“sekarang juga bisa, tapi harus banyak istirahat biar jahitannya cepat kering.” jawabnya

“Baik dok.” kataku. Ia kemudian beranjak pergi, wangi dari parfumnya masih tertinggal, semerbak memenuhi isi kamar.

Mau pulang sekarang Pak Sek?” tanya Pace Abbas

Aku mengangguk, Ia kemudian memegang lengan kanan berusaha membantuku berdiri. Kami berjalan perlahan ke luar ruangan, satu per satu warga mulai beranjak pulang ke rumahnya masing-masing. Nampaknya mereka sudah cukup banyak mendapatkan informasi tentang diriku.

Ada yang masih bertahan untuk berobat, mereka rapi berbaris menunggu antrian. tak satupun berusaha untuk menerobos, setiap orang yang selesai berobat langsung pulang dan tak lupa mengucapkan terima kasih. mereka nampak sangat menghargai keberadaan sosok wanita tersebut,

Antrian masih cukup panjang, walaupun begitu dokter haura nampak tak terlihat lelah, ia tetap melayani setiap pasien dengan tenang, sambil terus melempar senyum. keluhan mereka dijawab satu per satu dengan detail agar mereka mengerti. Sosok yang benar-benar luar biasa, ia seperti pusat tata surya di lingkungan tersebut, dengan sinar yang hangat dan menyilaukan.

Aku baru sadar belum sempat mengucapkan terima kasih tadi. Namun, karena melihat ia sedang sibuk, kuputuskan untuk menyampaikannya di lain waktu. Aku dan Pace Abbas berjalan kaki menuju rumah, ditemani beberapa warga kampung yang belum kukenal, mungkin keluarganya Pace Abbas. Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang terbuat dari semen, lebarnya sekitar satu setengah meter, di bagian kanan jalan ada rumah panggung milik warga yang terbuat dari bambu dan kayu. Rumah itu berjejer rapi sepanjang garis pantai.

Lihat selengkapnya