Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, silahkan coba beberapa saat lagi.
Setiap saat Amanda selalu mencoba untuk menghubungiku, berharap bisa segera mendengar suara, berbagi cerita seperti yang biasa kami lakukan, ia pun telah memutuskan untuk mulai membahas soal syarat yang diajukan oleh ayahnya untuk diriku. Hatinya telah mantap untuk membantuku mengumpulkan uang tersebut. Daripada terus diam dan tak melakukan apa-apa.
Apa kabarmu hari ini mas? Aku Rindu.
Kata hatinya terus bergema memancarkan gelombang rindu ke segala arah. Ia sudah mencoba untuk mengendalikan diri, tapi sungguh belum terbiasa dengan situasi seperti itu. Di dalam lacinya, tersimpan setiap potongan kertas yang diterima setiap hari, semuanya terlihat lusuh karena dibaca berulang-ulang.
Bahkan selusin lebih tangkai mawar putih telah dikumpulkan dalam satu pot bunga yang terbuat dari keramik. mulai dari yang sudah layu hingga yang masih segar. Semuanya disimpan hanya sekedar untuk dipandangi mengobati kerinduan. Dalam hati kecilnya, ia ingin tahu siapakah yang telah meletakkan bunga itu di meja kerjanya?
Ia berharap itu adalah aku, karena setiap baris syair dalam puisi itu persis seperti karyaku selama ini. Walau ia tak punya cukup bukti untuk menguatkan dugaannya. Satu hal yang ia tahu persis selama menjalin kasih adalah aku merupakan sosok dengan sejuta rencana, jumlahnya sebanyak huruf abjad a sampai z.
Tak terhitung berapa kali aku buat Amanda terkagum-kagum dan menantikan kejutan-kejutan selanjutnya. Aku memang selalu punya cara untuk buat hal biasa menjadi begitu spesial. Amanda teringat pada satu momen saat KKN Wasana Praja, kejadiannya belum lama atau tepatnya pada tanggal 21 April 2014.
Ia sedang berulang tahun, sebagai kekasih, sudah semestinya ia berharap aku menjadi orang pertama yang mengucapkannya, namun dari malam ketemu malam tak kunjung ada kabar. Belum lagi telpon genggamku yang tak bisa dihubungi. Lokasi magang kami memang terpisah jarak yang cukup jauh, Aku di Jakarta sementara dirinya di Jawa Timur.
Walau Amanda mulai kesal, kekhawatirannya jauh lebih besar. Ia ingin tahu keberadaanku saat itu. Informasi dari teman-teman yang satu lokasi berkata bahwa aku pergi dari sejak kemarin malam bersama beberapa orang alumni dan belum juga pulang. Hari semakin larut, waktu menujukkan pukul sebelas malam. Keadaan sekitar rumah gelap gulita, tak ada lampu dimalam hari, tak ada juga sinar rembulan. Hanya terlihat setitik cahaya lentera petani dari kejauhan. Amanda tak bisa tidur, ia masih duduk di teras rumah, terus menunggu kabar dari diriku.
Angin malam bertiup cukup kencang, langit bergemuruh, pertanda mau turun hujan. Matanya mulai berkaca-kaca, berusaha menahan tangis, rasa kesal, sedih dan khawatir bercampur menjadi satu.
"Manda, ayuk masuk, udah malam, nanti diculik orang lo." kata Siska, teman dekatnya
Amanda hanya mengangguk, mengiyakan tanpa bergerak dari tempat duduknya. Ia masih berharap kabar dariku. Rintik hujan mulai terdengar, setiap detik bertambah semakin kencang, Amanda tak bisa lagi menahan tangisnya, air matanya mengalir membawa rasa sedih, kecewa dan khawatir.
Waktu menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit, tangisnya sudah reda, bersamaan dengan hujan yang menyisakan rintik kecil. Ia memutuskan untuk masuk kedalam, mengambil wudhu dan mengadu pada Sang Maha Kuasa. Pintu depan ia buka perlahan agar tak mengganggu orang rumah yang sudah lelap tertidur.
Drrrrt....drrrt....drrrt...handphonenya bergetar. ia kaget, aku menelponnya.
pelan-pelan ia lekatkan handphone ke pipinya.
"Selamat Ulang Tahun Pipi Merah Jambu." Kataku.
Matanya kembali berkaca-kaca mendengar suaraku. Kalimat yang sudah ditunggunya seharian. Perih di hatinya buat air mata kembali mengalir.
"Kamu, darii...ma...na?" suaranya terbatas-bata seperti orang sedang menahan tangis
"Lepaskan saja sayang, ada aku disini" Kataku
Amanda tak kuasa lagi menahannya, ia tumpahkan semua kesedihannnya lewat telpon, menangis hingga terduduk memeluk dirinya sendiri, hujan kembali turun, lebih deras dari sebelumnya, meredam suara tangisan yang kian membesar. Aku hanya diam mendengar, memberikan ruang baginya.
"Sisa 5 menit lagi, please, make a wish!" Kataku
Amanda menarik nafas dan menutup matanya, memanjatkan doa dengan khusyuk. Hal tersebut berlangsung selama kurang lebih satu menit.
"Kalau sudah tiup lilinnya sekarang." kata Salman
"Caranya?" kata amanda
"Balik kanan sayang, lilinnya sudah hampir habis, nungguin kamu nangis dari tadi."
Ia terkejut mendengar jawabanku, diam sejenak, seakan tak percaya, perlahan ia coba menoleh ke belakang, air matanya kembali meleleh, saat ia temukan aku berdiri disana dengan kondisi basah kuyup membawa kue tar mini dengan lilin kecil di tengahnya. Ia tak sadar, setitik cahaya di kejauhan yang ia lihat sebelumnya adalah aku yang susah payah mencari alamat rumahnya dimalam hari.
Aku mendekat, mengarahkan kue untuk ditiup, sementara ia masih menangis.
"Cepat ditiup, nanti habis waktunya."
Dengan segera Amanda meniup lilin itu, matanya terus menatap wajahku, berharap bukan mimpi, setelah itu, ia mengambil potongan kecil untuk disuapkan padaku. Karena kesal ia mengoleskan krim kue tersebut ke seluruh wajahku hingga rambut yang masih basah. Ia sudah mulai tersenyum bahagia. Karena mendengar sedikit keributan, teman-teman ikut keluar rumah, mereka cukup terkejut melihat aku disana, akhirnya kue itu kami makan bersama, lalu ngobrol hingga waktu subuh. Keesokan harinya, aku kembali ke Jakarta.
Amanda hanya bisa tersenyum, mengingat momen itu. Walaupun demikian, ia masih penasaran dengan si pengantar bunga. Satu-satunya petunjuk yang ia dapatkan saat ini adalah orang yang mengantarkan bunga tersebut adalah seorang pria menggunakan sweater hitam dengan tutup kepala dan kacamata hitam, tinggi badannya sekitar 170 cm sesuai dengan tinggi badan Salman.
Informasi itu ia dapatkan dari Bude Martha. Kronologinya waktu itu, setelah bude menyelesaikan pekerjaannya dan hendak keluar ruangan, ia berpapasan dengan pria misterius tersebut, wajahnya tak terlihat jelas. Manda sudah coba menunjukkan fotoku pada Bude, tapi wanita paruh baya tersebut kurang yakin bahwa itu adalah orang yang dia lihat, soalnya kejadian itu juga terjadi begitu cepat dan cuman sekali.
Manda makin penasaran, siapa pria itu? ia berpikir kalau saja misteri ini dipecahkan, bisa saja ia akan mendapatkan sedikit kabar tentangku. Yah, sekedar untuk mengobati kerinduannya.
Kring…Kriing…Kriing
Handphonenya berdering
“Halo, Assallamuallaikum?” sapa manda mengangkat telpon
“Wallaikum salam dek, ini dengan Pak Joko yang bagian IT?” jawab seorang pria di telpon
“Oh ia pak, gimana?” tanya Manda
“Ini rekaman yang kamu minta sudah ada, bisa ke ruangan sekarang?” pinta pria tersebut
“Oh ia, bisa pak, saya kesana sekarang!” kata Amanda bersemangat
“Oke bapak tunggu y!” kata bapak itu sambil mematikan panggilan