Penyu di Mandena

Laode Buzyali
Chapter #10

Amanda

 Dua hari sebelum kedatangan kapal. Hatiku sedang diselimuti perasaan bahagia karena banyak hal, mulai dari jumlah ikan asin yang berhasil dikumpulkan ternyata jauh melebihi ekspektasi, mencapai 750 kilo, Insyaa Allah, kalau dijual dengan harga yang tepat, keuntungannya terhitung lumayan untuk bisnis yang baru seumur jagung.

Aku juga senang karena hubungan dengan warga kampung terjalin semakin erat, bukan hanya sebagai rekan bisnis tapi juga sebagai kerabat dekat bahkan sudah dianggap seperti keluarga mereka sendiri. Selama ini aku sering diundang makan siang di rumah mereka, bergiliran satu per satu, menu utamanya selalu papeda, sayur kangkung dengan ikan kuah kuning yang masih hangat, dengan pisang atau ubi rebus sebagai penutup.

uuuh, nikmat sekali !

Saat malam tiba, aku bersama Pace Abbas, Yosias dan beberapa orang pemuda kampung itu duduk di pelabuhan feri, menghabiskan waktu dengan segelas kopi hangat sambil menyanyikan lagu-lagu pop khas timur dengan iringan pukulan tifa dan musik ukulele. Semua bergoyang dan menyanyi, bermandikan sinar rembulan yang nun jauh di atas sana, jika waktu sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam. satu per satu mulai pamit pulang, beristirahat setelah seharian penuh melaut.

Aku masih berbaring diatas pelabuhan, masuk dalam keheningan sempurna untuk bertemu Amanda yang tersimpan dalam benak, rasa rinduku sebanyak hamparan milky way di langit malam itu, tak berujung dan tak terhitung, hanya bisa kunikmati seorang diri, aku berharap Amanda pun menatap gugus bintang yang sama.

Aku merasa cintaku telah berevolusi menjadi satu perasaan istimewa yang belum pernah kurasakan sebelumnya, semakin kuat dan solid, tanpa komunikasi dan terpisah jarak yang jauh telah jadi ujian terbaik untuk mengukur sejauh mana kami saling menginginkan. Semua cerita yang kami alami saat ini, akan menjadi alasan untuk tetap bertahan di kemudian hari.

Tepat sepulang dari kantor, aku berjalan menyusuri jalan setapak, kegiatan ruitn untuk melihat-lihat aktivitas apa saja yang dilakukan warga kampung saat sore menjelang senja tiba, satu per satu rumah kulewati, sambil melempar senyum dan tegur sapa dengan masyarakat yang kebetulan duduk di halaman atau teras rumah mereka masing-masing, hingga akhirnya aku berhenti di satu rumah yang kedengarannya cukup ramai padahal langit sudah mulai gelap.

Perlahan aku berjalan mendekati, memantau lewat jendela. Disana terlihat Haura dan kumpulan kurcaci kecil yang sedang asyik dengan pensil dan buku tulis. Ada yang rebahan di lantai mewarnai kertas polanya, sementara sebagian lainnya berdiri di sudut ruangan melihat poster huruf yang ditempel di dinding. Mulut komat-kamit sibuk menghafal. Papan tulis putih penuh dengan coretan yang isinya mulai dari huruf abjad hingga hitung-hitungan. Nampaknya, Haura bukan saja seorang dokter, melainkan pengajar yang baik.

5 + 10 berapa?” tanya Haura kepada Yanus, salah seorang anak didiknya.

Yanus menunduk, merentangkan seluruh jari tangannya, menekuk satu per satu dan mulai menghitung. Haura menunggu dengan sabar.

"15 bu guru." jawab Yanus dengan polos

"Yanus hebat." Puji Haura sambil bertepuk tangan

Semua ikut bertepuk tangan, mungkin itu adalah jawaban benar perdana yang dilakukan bocah itu. Aku berdiri terbius oleh pemandangan yang ada di hadapanku saat ini. Dengan segala keterbatasan, semangat mereka untuk menuntut ilmu tak luntur sedikitpun, dan Haura, ia layak menyandang perhargaan, The Most Inspiratif Woman di Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, bahkan mungkin Indonesia. Bagaimana tidak? ia mampu menjadi representatif pemerintah dalam memberikan dua pelayanan dasar yang menjadi hak masyarakat yaitu kesehatan dan pendidikan.

Ingin sekali rasanya bergabung membantu Haura yang terlihat kewalahan, namun aku takut ia masih kesal dengan kata-kataku tempo hari soal ikan asin.

"Ada yang bisa dibantu Pak Kepala Wilayah?" Tanya Haura membuyarkan lamunan. Aku tak sadar keberadaanku telah diketahuinya dari tadi.

"Udah lama ngajar dok?" Tanyaku

"Alhamdulillah baru setahun mas." katanya singkat

hari sudah semakin gelap, satu per satu kurcaci keluar dari ruang belajar pamit ke Haura dan kembali ke rumah masing-masing.

"Bu guru besok lagi y!" pinta seorang bocah perempuan dengan senyum manis dan rambut ikal sebahu.

"Oke wede," jawab Amanda sambil memberikan pelukan hangat dan kecupan manis di kening. Setelah para kurcaci itu pergi, aku ingin menyelesaikan rasa penasaranku yang belum tuntas.

"Sendirian?" tanyaku

"Ia mas, tunggu ya aku kunci pintu dulu," jawab Haura

Setelah ruangan itu terkunci rapat, kami bergegas meninggalkan tempat belajar itu sambil mengobrol sepanjang perjalanan pulang, sekalian aku mengantarkannya balik ke puskesmas, disanalah ia tinggal bersama beberapa bidan yang ditugaskan di Yerui. Kebetulan kami searah. Darinya aku mendapatkan banyak cerita mulai dari antusias dan semangat anak-anak untuk belajar, hingga kenyataan pahit bahwa guru di sekolah yang jarang hadir karena lebih sering menghabiskan waktu di kota. Nanti muncul hanya saat ujian akan dilaksanakan dan hal itu terjadi selama bertahun-tahun.

Warga kampung tak pernah protes walaupun hal ini merugikan anak mereka, mereka takut untuk berbuat lebih karena merasa rendah dihadapan para guru yang berseragam dinas dengan lambang pemerintah di lengan bajunya. Bagi mereka yang juga pernah putus sekolah, anak mereka sehat dan bisa baca tulis saja sudahlah lebih dari cukup. Mereka hanya bisa percaya dengan semua rencana pemerintah, jika tak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, maka pasrah dan terus melanjutkan hidup adalah solusi terbaik karena tak tahu harus mengadu pada siapa, apalagi di tempat terpencil seperti itu.

Awalnya Haura sudah berusaha menahan diri untuk tidak ikut campur, karena itu memang bukan kewenangannya sebagai dokter, tapi ia takut jika hal tersebut dibiarkan, anak-anak itu akan kehilangan semangatnya, putus sekolah, lalu terperangkap dalam lingkaran kebodohan, hingga akhirnya bernasib sama seperti orang tua mereka, menjadi nelayan tradisional yang terlilit kemiskinan. Ia gelisah hingga nurani tergerak untuk melakukan sesuatu.

Karena mendidik adalah kewajiban setiap orang yang terdidik, bukan dinas pendidikan saja.

Iapun menolak untuk diam. Aku dengar semua ceritanya. Semua informasi itu juga sudah kumasukkan dalam laporan yang nantinya akan kusampaikan kepada Kepala Dinas Pendidikan, berharap ada respon positif dari beliau untuk menegur kepala sekolah dan jajarannya yang bertugas di sekolah itu. Jika tidak ada tindak lanjut, cerita ini akan kuteruskan hingga ke Pak Bupati. Walau kesal, aku harus tetap profesional, menindaklanjuti masalah sesuai mekanisme yang berlaku, jangan asal lapor, seperti seorang provokator.

Setelah kurang lebih sepuluh menit berjalan, kami sudah tiba di depan puskesmas tempat Haura tinggal.

"Sebelum berpisah, kira-kira apa yang bisa kubantu bu guru?" aku bertanya. Ia tersenyum tipis, matanya melihat ke kanan, berusaha memikirkan satu jawaban yang tepat.   

"Bukan aku tapi anak-anak itu butuh cahaya agar mereka bisa belajar lebih lama," katanya

"Dicopy, ada lagi?" tanyaku kembali

"Aku pikir kamu lebih tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya mas, karena dalam masalah ini seorang guru tak bisa sepenuhnya disalahkan bukan? ini masalah organisasi bukan individu!" katanya sambil berlalu pergi masuk ke dalam rumah meninggalkanku. Sesampainya di rumah, aku duduk berpikir, terpacu untuk menyelesaikan satu masalah yang baru kudengar, Haura memang cerdas, seperti yang dikatakannya barusan gerakan relawan yang dilakukannya saat ini tak akan pernah cukup menyelesaikan masalah sistemik yang terjadi pada dunia pendidikan Yapen.

Lihat selengkapnya