Penyu di Mandena

Laode Buzyali
Chapter #12

Rasa Yang Terpendam

Momen terbaik dalam hidupku adalah hari dimana aku menggenggam erat tangan si pipi merah jambu. Aku merasa seperti waktu seakan berputar lebih lambat, hingga setiap kedipan matanya bisa terlihat dengan jelas, wangi parfumnya masih membekas dalam ingatanku sampai saat ini, kalau waktu bisa diputar, aku ingin mengulang momen itu.

Kini pagi kusambut dengan penuh antusias, hati yang bosan karena rutinitas kampus, berubah penuh warna bak pelangi. Kaki selalu bersemangat melangkah menuju ruang kelas, karena akan segera bertemu dengan Amanda. Hubungan kamipun jadi lebih baik, mulai bertegur sapa saat berpapasan bahkan ia mulai sering tersenyum jika tak sengaja mata kami saling bertemu dalam keramaian.

Walaupun demikian, aku masih belum berani mengirimkan pesan singkat apalagi nelpon. alasannya sederhana, takut tak dibalas. takut juga dibilang sok kenal dan sok dekat. Apalagi, ia juga masih sangat dekat dengan Kak Bima. Walau belum resmi berpacaran, tapi seisi kampus sudah menganggap mereka couple of the century. Jadi, aku harus tetap menjaga nalar agar tidak malu-maluin.

Kamis malam, 23 Maret 2011, pukul 2 dini hari, tepatnya setelah tahajud, ada bisikan halus dalam hati untuk untuk mengirim sebuah pesan kepadanya. Kulihat kembali puisi-puisi terbaik yang sudah ditulis selama ini, bermaksud mengirimkan satu dari sekian banyak kepadanya, setelah memperbaiki beberapa kata, kini tiba saatnya menekan tombol send agar pesan tersebut bisa sampai kepada Amanda. Namun, seperti yang sudah-sudah, hatiku kembali dihinggapi keraguan.

Suara jam dinding berdetak mengisi keheningan malam. Sudah hampir dua tahun lamanya, aku terus seperti ini, mendoakan tanpa pernah berani untuk mengirimkan pesan. Mungkin karena ia terlalu spesial di mataku, seperti saat kau melihat tulip di padang bunga, saking indahnya, sayang untuk disentuh apalagi dipetik, aku pikir itulah cara terbaik menjaga karya terindah ciptaan Allah Ta'ala, akan tetapi bagaimana jika ia jatuh ke tangan yang salah.

Kupejamkan mata, senyumnya hari itu kembali hadir dalam ingatanku, memacu adrenalin sedikit demi sedikit, melahirkan keberanian yang perlahan terkumpul di ujung ibu jari, lalu dengan satu tarikan nafas dan ucapan Bismillah. Aku pun mengirimkan pesan itu.

Hai, Ada visual dirimu dalam benakku. Wajahmu elok bak senja tak berkesudahan, rona merah jambu bersemu cantik menghiasi pipi, merubah laut biruku jadi warnamu, Kukirim isyarat pada bintang, lalu berbisik pada angin malam. Imaji tentang kamu yang selalu kurindu

Haaahhh, Perasaanku lega setelah mengirim pesan singkat itu, beban terasa berkurang, karena selama ini semua rasa kusimpan seorang diri tanpa pernah bercerita pada siapapun kecuali Sang Pemilik Cinta. Aku tahu mungkin Amanda sedang tertidur, tapi tak apa, mungkin begini lebih baik, agar esok hari mungkin saja pesan itu sudah tertumpuk dengan pesan lainnya, sehingga tak sempat ia baca.

Dalam hati, sebenarnya aku berharap ia membalasnya, sehingga aku sedikit tahu seperti apa aku dimatanya. Namun, mungkin itu terlalu cepat untuk kami yang baru saja saling kenal, itupun karena sebuah kasus. Aku berdiri merapikan sajadah dan melipat sarung shalat. Setelah itu, berjalan menuju tempat tidur yang ada di petak c bagian ujung dekat lorong. Kulihat semua teman-teman satu barak masih tertidur pulas, dengan berbagai macam irama dengkuran.

Aku berbaring diatas kasur, mata perlahan mulai menutup dan tiba-tiba, HPku bergetar

Drrrrrrrrrrrttttttttt .... ada SMS masuk.

Kubuka perlahan layar utama, lalu tekan baca,

"Makasih," Amanda membalas.

Tanganku gemetaran, kukedipkan mata berulang-ulang mengecek kebenaran SMS itu, aku bangkit dari posisi tidur, duduk di atas kasur, kulihat kembali pesan itu berulang-ulang, ternyata memang dia, Pipi Merah Jambu. Nafasku menderu-deru, ingin rasanya berteriak seekencang-kencangnya, Namun kutahan. Aku kembali berbaring, coba mengatur nafas, selimut kukenakkan, HP kuletakkan di atas dada, kupeluk erat-erat, sambil terus mengucap syukur, Alhamdulillah.

Sejak malam itu, aku tak lagi sungkan untuk mengirimkan puisi kepadanya dan ia pun tak pernah luput membalas. Di kelas kami jadi sering ngobrol, kadang ia juga menelpon walau hanya sekedar menanyakan soal perkuliahan, tapi bagiku itu sudah lebih dari cukup. Caranya yang seperti itu buat aku berpikir punya kesempatan untuk memilikinya. Inilah momen dimana aku merasa bisa mendahului Kak Bima. Toh sampai saat ini, walau dekat, hubungan mereka masih tanpa status.

Tibalah hari sabtu, saat kondisi kampus sedang sepi karena sebagian besar praja sedang keluar menikmati waktu pesiar yang dimulai dari pukul sembilan pagi sampai pukul delapan malam. Hari itu kuputuskan untuk tetap di kampus karena tahu Amanda juga sedang tidak pesiar. Aku pikir ini adalah kesempatan emas untuk selangkah lebih dekat dengannya. Kusiapkan sebuah kado untuk diberikan padanya, kalau diterima artinya ia membuka diri, kalau tidak, maka sebaliknya.

Lihat selengkapnya