Tak terasa sudah hampir seminggu aku dirawat di puskesmas, kondisiku sudah kian membaik, semua berkat Haura, ia memperlakukan diriku sama dengan pasien lainnya, merawat dengan sepenuh hati tanpa kenal lelah, tanpa kenal waktu, selalu ada kapan dibutuhkan, ia telah menunjukkan padaku gambaran ideal seorang dokter, tak hanya fokus pada upaya penyembuhan, ia juga terus berupaya mengajarkan masyarakat pola hidup sehat, hingga bisa terhindar dari sakit.
Senjata utamanya adalah senyum, tatapan mata yang teduh, dan seorang pendengar yang baik. Akupun jadi lebih sering ngobrol dengannya. Aku baru tahu bahwa ia adalah seorang dokter muda lulusan Jerman, apa yang dilakukannya di Miosnum bukan karena tugas, melainkan sebagai relawan untuk menambah pengalaman di lapangan sebelum mengambil spesialis.
Malam ini mata sulit terpejam, badanku keringatan, suhu di ruangan terasa panas tak seperti biasanya, kata warga kampung ini salah satu pertanda akan turun hujan deras. Kulihat dari jendela, pemandangan yang sama seperti malam-malam sebelumnya, Haura sedang berdiri sendirian di pinggir pantai menatap langit malam.
Untuk mengusir rasa penasaran dan kondisiku juga sudah cukup baik, kali ini aku putuskan untuk mendekat, mencari tahu apa yang sebenarnya ia lakukan. Setelah mengenakan jaket tebal berwarna merah marun dengan sendal jepit, aku bergegas keluar ruangan, pintu kubuka perlahan, kaki kuangkat pelan-pelan agar tidak berisik dan membangunkan yang lain.
Setibanya di halaman, aku berjalan menuju pantai tempat Haura berdiri, dilehernya ada selendang putih mengayun tertiup angin pantai, wajahnya bercahaya terpapar sinar rembulan, dari matanya pendaran cahaya bintang memantul dengan indah, menerangi sekelilingnya. Ia begitu mempesona hanya dengan tampilan sesederhana itu.
Saat aku semakin dekat ke posisinya, aku bisa lihat dengan jelas, ia sedang menangis.
"Haura." sapaku yang buat ia dengan segera menyeka air matanya.
"Mas? belum tidur?" tanya Haura
"Gerah di dalam kamar, kamu sendiri, kenapa belum tidur?"
Ia tak menjawab, aku tahu ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.
"Ada yang mau kamu ceritakan? siapa tahu aku bisa bantu?" tanyaku lagi berusaha memulai pembicaraan seperti hari-hari biasanya, tapi entah kenapa malam ini ia masih diam, jadi kuputuskan untuk meninggalkan tempat itu, tak mau mengganggu privasinya, sebelum kakiku melangkah jauh, ia pun mengatakan sesuatu.
"Kamu pernah gak, merindukan seseorang tanpa tahu gimana caranya berhenti?" kata Haura yang buat aku menoleh ke arahnya, terlihat air mata itu kembali mengalir. Aku belum tahu harus bicara apa.
"Dulu ada seorang pria yang bilang sama aku, kalau kamu merindukan seseorang, tataplah bintang-bintang lalu lukislah wajahnya disana, maka dengan begitu, rindu akan terobati dengan sendirinya." kata Haura sambil tersenyum tipis berusaha sembunyikan kesedihannya
"Tapi kenapa setelah aku lukis setiap malam wajahnya di atas sana, rasa rindu itu malah kian menjadi, hingga terasa perih." mulutnya berhenti, air mata terus mengalir, suara isak tangisnya terdengar, aku merasakan kepedihan yang amat mendalam, terpendam dalam waktu yang lama. Tanganku bergerak ingin merangkul, berikan sandaran, namun ada batas yang memang tak boleh dilewati demi kebaikan kami berdua. Kuputuskan untuk sekedar mengelus pundaknya, memberi semangat.
"It's Okay, Just Let It Flow." kataku yang buat dirinya semakin tenggelam dalam kesedihan. Aku tak menduga sosok yang selalu mengumbar senyum saat melayani warga kampung, ternyata punya luka hati yang belum kunjung terobati.
"Rindu itu seperti angin malam di tepi pantai, agar kau tak kedinginan, datanglah dengan sesuatu yang menghangatkan, seperti sweater ini." kataku sambil menyelimutinya dengan sweater merah marun yang kugunakan.
"Jangan lagi menatap langit malam untuk mengusir kerinduan, karena bintang adalah bintang, bukan jelmaan orang yang sudah mati, sementara orang yang kamu rindukan, hidup didalam hati, bolak balik di kedua bola mata itu, bukan diatas sana Haura." kataku padanya sambil berhadapan. Ia melihatku dengan tatapan yang belum pernah kudapatkan selama ini.
"Tapi bukankah angin malam akan selalu ada, lantas bagaimana cara aku lari darinya?"
"Kau harus pergi jauh dari pantai, hingga tak ada lagi angin itu" kataku
"Caranya?"
"Mulai besok malam, akan kutunjukkan jalannya" kata itu terucap begitu saja dari mulut, tak ada maksud apa-apa, hanya ingin menolong, aku tak bisa biarkan wanita berhati malaikat sepertinya terjebak dalam rasa rindu tak berkesudahan.
*
Sinar mentari mengecup lembut pipi, menghangatkan jiwa, buatku terbangun dari tidur. Aku melihat sekeliling, ada segelas susu di atas meja, dengan sebuah kertas dibawahnya.
"Selamat Pagi" -Haura-