Sabtu, 13 September 2014, saat aku sedang duduk kesal menantikan mata kail pancinganku disambar ikan sombong dibawah sana, bagaimana tidak, sudah tiga jam aku duduk, belum juga ada hasilnya, padahal hasil tangkapan Yosias dan Pace Abbas sudah hampir memenuhi perahu. Aku bingung kenapa ikan-ikan itu tak ada yang berminat dengan umpan milikku, padahal sama saja dengan milik Yosias, aku juga sudah meniru gerak-gerik Yosias dan Pace Abbas , mulai dari mengayunkan tali nelon seperti orang sedang pompa sumur air, sampai bertukar tempat dengan mereka, tapi tetap saja tak ada hasilnya.
Satu hal yang buat aku tak sabaran adalah kelakuan Yosias yang dari tadi terus mengejek, membuatku merasa seperti anak SD yang sedang dibully oleh teman sekelasnya. Mentang-mentang mereka hidup di lautan, bukan berarti bisa mempermainkanku seperti ini. Kuputuskan untuk menukar tali nelon pancingan kami.
"Sini, kita tukaran tali nelon." kataku. Yosias dengan senang hati memberikannya, sambil senyum-senyum menahan ketawa. Sialan. kataku dalam hati. Aku paling tak suka diremehkan seperti itu, tapi mau bagaimana lagi, laut adalah rumah mereka, dan mungkin saja ikan-ikan dibawah sana sudah menganggap mereka seperti keluarga, jadi semuanya mengantri untuk ditangkap.
Sekarang aku merasa lebih percaya diri, semoga tangkapan pertamaku segera tiba. Terik matahari kian menjadi, panasnya terasa membakar kulit, awalnya aku tak terbiasa, namun setelah dua bulan lamanya membiasakan diri, aku akhirnya bisa lebih beradapatasi, mulai dari menggunakan cream sunblock, baju lengan panjang, hingga topi cowboy.
"Dapat." kata Yosias kembali menarik tali pancingnya, kali ini ikan yang ia dapatkan adalah jenis ikan kakap marah dengan badan selebar telapak tangan orang dewasa dan panjang sekitar 30 cm. Pemandangan yang buat aku semakin frustasi. Kayaknya ini bukan hari keberuntunganku. Sementara di ujung kapal, Pace Abbas pun diam-diam melepas mata kail dari moncong ikan kakap merah lainnya, mungkin tak ingin melukai perasaanku lebih dalam.
Saat aku berpikir untuk pulang, tanganku mulai merasakan sesuatu, ada tarikan kecil, yang semakin lama semakin kuat.
"Strike." aku berteriak mengegelangar, pamer kepada Yosias dan Pace Abbas. Mereka menoleh melihatku mulai menarik perlahan ikan pertama di hari itu, tarik, ulur, tarik, ulur, tarik, ulur, itulah teknik dasar memancing yang kulihat dari mereka. Tak lama kemudian, bayang-bayang ikan itu sudah mulai terlihat di permukaan, warnanya merah.
"Saya orang buton, saya juga tahu caranya mancing ikan." kataku dengan bangga. kini aku sejajar dengan mereka. Tak lama kemudian, mata kail sudah keluar dari permukaan air laut dan saat diangkat, hanya ada ikan sebesar jari telunjuk sedang menggelepar disana.
"Hahaha." Yosias tertawa hingga teringkal-pingkal diatas perahu, sementara Pace Abbas menutup mulutnya menahan tawa.
"Oke gaji kalian dipotong." kataku dengan wajah merah mencoba menahan malu. Mungkini ini yang dibilang, Don't ever celebrate too early. mereka tak peduli, masih terus tertawa dan mengambil ikan milikku tadi lalu membandingkannya dengan ikan terakhir Yosias.
"Ini Ikan nenek." kata yosias sambil menunjuk ikannya
"Ini ikan cucu." kata pace Abbas menunjuk ikan milikku.
Hahahaha. Mereka kembali tertawa sambil memegang perut masing-masing mengabaikan tali pancingan mereka. Aku diam tanpa kata rasa malunya sampai air mata rasanya mau jatuh.